Sembilan

414 67 11
                                    

"Ikatan benang merah terus mempererat takdir kita dan aku akan mewujudkannya"

***

Ha? Ikatan benang merah apa? Dan juga kalau itu benar adanya, kau sudah mengguntingnya sejak dulu.

Dan lagi, dia mengacangi surat  balasanmu kemarin, teme.

Perempatan siku siku muncul di dahi. Ingin sekali kau menonjok wajah orang itu sekarang, berhubungan kau sedang haid, emosimu tidak terkontrol.

Well, karena haidmu itu juga, beberapa orang menjadi korbanmu. Sekitar 3 orang luka luka dan 1 orang hampir mati. [Bestfriend Name] saja tidak berani mendekatimu hari ini, takut akan resiko yang didapat darimu.

Kau menghela napas dan berjalan ke arah toilet, ingin memeriksa sesuatu.

Dalam perjalanan kembali, kau dapati migran menyerang. Rasa nyeri menjalar di seluruh bagian kepala, akibatnya badanmu pun terhuyung huyung saat berjalan.
Kapankah surat teror ini berakhir bagimu?

Kau merasa semakin pusing dan pandanganmu mulai gelap, setelah itu semuanya benar benar gelap.
***

"Ukhh..." Kau mengerjapkan mata, memastikan ruangan putih yang kau tempati bukanlah rumah sakit. Bukan, tetapi ini uks. Masalahnya adalah siapa yang kuat untuk membawamu ke sini?

Kau mencoba untuk duduk, walau rasa nyeri di kepala masih tersisa dan kau menemukan dia-----Aomine Daiki, pria berkulit tan, gebetanmu.

"Oi, Daiki...Daiki!" Kau menggoyangkan tubuhnya yang tertidur lelap di pinggir ranjangmu. Oh, soal panggilan tanpa marga itu karena kalian sudah saling kenal sejak dari TK. Percuma saja, kau tidak akan bisa membangunkannya dengan cara biasa, segera kau mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya dengan nada rendah, "Hari ini majalah Mai-chan mendapat diskon 80%"

"APA?!" langsung saja sang Ace terjaga dari tidurnya. Gerakan refleknya membuatmu sedikit terkejut, untung saja kepala kalian tidak terbentur satu sama lain. Ditambah lagi suaranya yang keras mengagetkanmu.

"Daiki no baka! Kau bisa merusak gendang telingaku!" Kau memekik keras sambil mengusap kedua telingamu.

"Gomen" hanya kata singkat itu yang meluncur dari mulutnya. Kau memberinya glare, jujur saja kau sangat membenci sang pemuda berkulit gelap ini. Alasannya sudah jelas, karena kau sama sekali tidak bisa mengalahkannya.

"Hoi [Name], bagaimana keadaanmu?"

"Masih pusing, item." Kau memijit keningmu, rasanya masih agak pening.

"Jangan panggil aku item, teme."

"Hah apa? Panggil saja gosong? Oh, ok"

"Oi!!" Aomine balik memandangmu kesal.

"Kau berisik, gosong. Kepalaku jadi sakit lagi, aku mau pulang." Kau turun dari ranjang, memakai sepatu dan berjalan keluar uks.

"Tunggu aku, [Name] teme!" Aomine berlari mengejarmu. Kalian berdua berjalan beriringan di koridor menuju kelas. Suasana sekolah sunyi, pantas saja karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dengan cepat kau merapikan alat tulismu dan memasukkannya dalam tas, begitu juga dengan Aomine.

Kalian berjalan pulang bersama, of course karena rumah kalian berdekatan-----temen dari brojolan kandungan emak sih. Suasananya canggung. Ya iyalah, gimana ga canggung kalo jalan pulang berdua bareng gebetan?

Akhirnya kalian sampai di depan rumahmu, kau menengok, melambaikan tanganmu sebentar padanya kemudian berbalik memasuki rumah. Sementara Aomine? Rumahnya masih lurus dikit lagi.
***

Masuk dalam rumah, kau segera menuju kamar. Membuka pintu kamar kesayangan kemudian melempar tas ke atas kasur, tak lupa badanmu juga kau rebahkan di atas pacarmu tertjintah. /plak/

Kau mengobrak abrik isi tas untuk memastikan surat biru itu masih di dalam sana. Setelah benda terkait kautemukan, segera kau simpan dalam bantal kesayangan, tempat rahasia favoritmu.

Karena sekali lagi, tidak ada yang boleh tahu bahwa ada seseorang yang berhasil singgah di hatimu.

letters | aomine daiki.Where stories live. Discover now