Episode #3: Overexcited?

61.8K 3.8K 123
                                    

Alana

Fifteen.

Mana yang lebih tepat untuk dikatakan: aku sudah 15 tahun, atau aku masih 15 tahun? Kalau kukatakan aku sudah 15 tahun, akan ada yang berteriak kalau hey, kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Tapi ketika aku berkata masih 15 tahun, bukankah sudah hampir lima per tiga dari seperempat abad? Itu sudah cukup lama untuk aku seharusnya mampu berpikir apa yang bisa kulakukan untuk dunia ini bukan?

Fifteen. When we think we can love anyone and worry too much about little things. Orang dewasa menganggap apa yang kita lakukan ini konyol. But we were serious, even harder and more passionate than most adults. Seperti ketika kita diam-diam jatuh cinta di umur 15 tahun. Orang dewasa akan menertawakan kekonyolan kita, tapi hey, percayalah, kita jauh lebih serius dan lebih tulus dari siapapun dalam mencintai seseorang. Ketika hal kecil tentangnya pun bahkan sudah mampu membuat kita overexcited.

"Tahu gosip terbaru soal Kak Wingga nggak?" tanya Jihan di UKS setelah lukaku sudah selesai ditutup dengan kasa.

"Pasti tahu lah," ujarku bersungut-sungut.

"Apa coba?"

"Tentang apanya dia nih? Yang dia siap-siap pindah haluan OSN kimia?"

"Ih, cupu. Itu udah berita lama. Pasti belum kepo ask.fm–nya semalem ya?"

"Hah? Apa emang? Buka-buka cepet," aku menyambar i-Phone Jihan dari tangannya. Tapi dia menahannya kuat-kuat.

"Aku bacain!" ujarnya sinis. "Nih, ada anon yang nanya: Kak, mau lanjut kuliah di luar negeri atau di Indo aja?"

"Sumpah-sumpah? Trus doi jawab apa?"

"Rahasia!"

"Ih, sialan ya. Jawabannya beneran rahasia?"

Jihan tertawa penuh kemenangan., aku meliriknya semakin sinis sampai mataku membulat seperti Suzanna. "Pengennya USA atau UK. Menurut anon mending yang mana?"

"UK lah!" sahutku.

"Trus si anon balesin, Wah, di luar negeri berarti ya Kak? Kalau USA atau UK, berarti Harvard, MIT atau Cambridge ya Kak?"

"Gila mah kalo kaya gitu aku nggak ada harapan sama sekali buat ngikut kemanapun dia pergi lah,"

"Nggak penasaran dia jawab apa?"

"Ya lanjutin kali bacanyaa,"

"Belum dijawab,"

"Beneran?" kini aku menyambar i-Phone Jihan dari tangannya, dan dia terkalahkan oleh kekuatan kepo gadis 15 tahun yang sedang jatuh cinta. Dan ternyata memang benar-benar belum dijawab.

"Tapi masuk akal banget lah kalau dia sepintar itu orientasinya udah bukan di Indonesia Al. Dunia terbuka lebar untuk dia explore sedalam-dalamnya, bahkan dia bisa punya pintu kemana saja, mau masuk univ mana nanti,"

"Gitu banget apa?"

"Kalau aku pernah dengar sih ya, medali internasional minimal perak loh di olimpiade internasional buat dapat kursi di univ-univ terbaik di dunia. Malah nilai akademis aja nggak cukup katanya, macam-macam syaratnya. Kecuali kamu anak konglomerat yang sanggup bayar bermilyar-milyar,"

"Tunggu anak cucu lahir dulu kalo gitu aku baru bisa nyusul Kak Wingga ya?"

Lagi-lagi Jihan tertawa terbahak-bahak sambil memegang perut. Yah, Jihan memang selalu jadi yang pertama tertawa ngakak setiap kali aku bersedih akibat jatuh cinta diam-diam. Sahabat kurang ajar memang. Lebih kurang ajar lagi ketika dia pamer tentang pacarnya yang sekarang sudah masuk UI.

Jihan merupakan satu dari seribu ABG yang beruntung karena mimpinya untuk berpacaran dengan senior yang dia sukai sejak kelas satu SMP bisa tercapai. Yap, satu dari seribu. Dan aku termasuk ribuan receh ABG yang tidak tercapai mimpinya. But, well, menatapnya dari jauh sudah cukup membuat hari-hariku full of energy. Kalau aku ini baterai solar cell, dia itu matahari yang bisa men-charge hatiku. Sebegitunyakah? Oh, damn it karena aku harus bilang iya.

. . .

Beberapa menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi, aku sudah memasukkan semua buku-buku yang berserakan di mejaku. Note it please, bukunya cuma berserakan, tidak sepenuhnya berantakan karena aku sibuk membaca, tapi hanya untuk terlihat benar-benar memperhatikan pelajaran. Terkadang anak sekolahan yang mudah bosan belajar seperti aku begini memang membutuhkan trik-trik semacam itu. 

Jihan mengernyitkan dahi menatapku yang sedang memasang kuda-kuda bersiap meluncur keluar kelas. "Ngapain?"

"Pertanyaanmu nggak membutuhkan jawaban kayanya," sinisku menjawabnya.

Tidak mungkin Jihan tidak tahu ritual wajibku sepulang sekolah. Aku akan melewati rute jalan yang biasanya dilewati oleh Kak Wingga dari kelasnya menuju ke perpustakaan. Di sepanjang jalan, aku akan berpura-pura mengambil gambar banyak orang, ke berbagai sudut, seolah-olah yang aku ambil fotonya adalah suasana sekolah, padahal sejatinya aku sedang berburu foto satu orang jua.

Percaya nggak kalau jatuh cinta diam-diam itu bisa membuat kita lebih banyak bersyukur? It does happen for me. Terutama ketika diam-diam memotretnya dari jauh, tapi dapat fotonya kece banget. Rasa syukur sudah diberikan momen yang indah dengan hanya berhasil memotretnya dari jauh itu subhanalloh banget. Asalkan jangan bikin scene aneh-aneh aja, apalagi kalau ketahuan motret dia diam-diam. Hey malu dong.

Bel sekolah akhirnya berbunyi, aku meluncur ke spot andalan: taman dekat kelas XI IPA 1. Sialnya adalah disana ternyata ada beberapa teman seangkatanku dan senior di klub fotografi yang sedang berkumpul.

"Heh Al! Kok tahu kita lagi kumpul disini?" sapa Roger.

Dengan terpaksa aku membuat senyuman di bibirku. "Tahu dong, kan langsung bunyi di radar, bip-bip, bip-bip, roger-roger,"

"Cieeee," seloroh sekumpulan cowok-cowok yang gandrung fotografi itu. Roger tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. Hanya dia yang paham kalau aku benar-benar hanya bercanda. Dia memang teman yang baik, partner unyu di klub fotografi. Dan hanya dia juga yang mungkin sadar kalau mataku langsung membulat saat mendapati Kak Wingga keluar dari kelas XI IPA 1.

"Aku pergi duluan yaa semua," ujarku masih dengan senyum buatan yang kubuat sangat lebar sambil melambaikan tangan ke arah kerumunan anak klub. Dan tentu saja sudut mataku mengekor kemana Kak Wingga pergi, tidak ingin kehilangan jejaknya.

"Loh Al, nggak nungguin Roger, biar dianterin pulang?" sahut Feno, salah satu senior klub fotografi.

"Santai Kak, kita udah PM-PM-an kok lewat telepati,"

"Waduh, ACDF ini!"

"Apaan ACDF?" tanya Roger.

"Ada cinta di fotografi!" ujar Feno disusul gelak tawa satu gerombolan. Aku hanya tersenyum unjuk gigi sambil melambaikan tangan dan pergi. Roger juga ikut tertawa, tentu saja. Tapi entah kenapa aku merasa tawanya agak berbeda?

Tetapi lagi, aku sedang tidak punya waktu untuk membahas Roger, keburu nggak dapet momen yang bagus buat ambil foto Wingga di hari pertama semester baru. Setengah berlari, aku pergi ke arah yang sama dengan Wingga. Please make a note again, aku hanya mengikutinya diam-diam, bukan berjalan di sampingnya. Tolong jangan katakan ini sangat mengenaskan, karena aku sudah tahu jawabannya adalah BIG YES.

. . .

To be continued..


Helloooo!

Suka sama siapa nih sampe sini? Wingga, Alana atau justru Roger? Wkwk..

Stay tune next episode Alana yah~

fifi.alfiana

Too Far to Hold [COMPLETED]Where stories live. Discover now