Episode #10: Wingga's Vibe

28.8K 2K 35
                                    


Wingga

"Jadi tugas gue bikin soal doang kan Nyus?" aku dan Yusy hampir selesai mengobrol tentang kerjaan di klub Olim. Aku memastikan lagi apa yang butuh kulakukan untuk pelatihan anak baru klub yang akan kita adakan sambil berjalan di lorong menuju kelas.

"Bikin soal ya sama jawabannya dong,"

"Yaiyalah. Kecuali lo mau ngerjain soal yang gue buat," gurauku.

Yusy mencibir sinis, tanda dia tidak mau mengerjakan soal buatanku. "Nggak level ya ngerjain soal buatan gue?" ujarku sambil tertawa.

"Yaelah Ngga. Justru gue nggak yakin bisa ngerjain,"

"Ih, mana mungkin. Bisa lah, pasti," sewotku. "Lo belum apa-apa udah main bilang nggak bisa aja. Default probabilitasnya masih seratus persen buat lo bisa ngerjain nih sekarang. Semakin besar pikiran lo tentang diri sendiri kalo nggak bisa, semakin berkurang lho probabilitasnya,"

"Oke-oke, stop it. Gue coba kerjain," Yusy masih melirikku sinis, tapi aku tahu dia menahan senyum di belakang raut muka sinisnya. "Lo nggak berubah-berubah ya Ngga, masih perfeksionis banget? Masih pasang target tinggi banget pasti ya?"

"Pasang target apaan? Kaya gue lagi main judi aja pasang-pasang target tinggi,"

Yusy tertawa ringan, lalu manggut-manggut tanpa menatapku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Nggak apa-apa," dia menggelengkan kepala singkat, masih tidak menatap mataku.

"Obvious banget kalo ada sesuatu yang lo pikirin tentang gue. Kenapa?" desakku agar dia membuka mulut untuk bicara.

"Nggak ada apa-apa, Ngga. Beneran," ujarnya kini menatapku tapi tidak dengan tatapan yang mampu membuatku yakin kalau memang benar-benar tidak ada apa-apa.

"Kalo cewek bilang nggak ada apa-apa, katanya itu artinya ada apa-apa. Iya nggak sih Nyus?"

Kini Yusy tertawa terbahak-bahak. "Lo kaya tahu banget soal cewek aja. Katanya belum pengen pacaran?"

"Tahu banget soal cewek nggak harus lewat pacaran kan?"

"Iya-iya. Udah, lo nggak usah pacaran. Gue nggak bisa bayangin kaya gimana pacar seorang Wingga,"

"Kenapa emang? Harus kaya gimana pacar seorang Wingga?"

"Kan tadi gue bilang nggak bisa bayangin, Ngga,"

"Oke," aku meringis menatap Yusy yang mulai jengkel setiap kali aku terlalu banyak bertanya kenapa.

"Lo yakin belum pernah jatuh cinta, Ngga?" tanya Yusy tiba-tiba setelah kita diam beberapa saat, sambil melanjutkan langkah ke arah kelas.

"Belum," aku terdiam sejenak. "Basic concept cinta menurutku cuma satu, kita butuh jatuh cinta sama diri sendiri sebelum jatuh cinta sama orang lain,"

Yusy tertawa lagi menatapku. "Gue udah dengar berkali-kali premis lo itu. Trus premis selanjutnya adalah 'setidaknya kamu harus pernah jatuh cinta sekali aja sebelum umur 17 tahun'. Tapi lo sendiri belum pernah, lucu kan?"

Aku tertawa kecil. "Gue masih enam belas, belum lewat deadline buat jatuh cinta dong. Dan lo selalu bersemangat kalo bahas premis-premis cinta nggak jelas buatan gue,"

"Ih, mana ada," pembicaraan nggak penting kita pun berakhir saat Yusy mendapati kita sudah di depan kelasku. "Nanti lo kirim email aja soalnya kalau udah kelar,"

Aku mengangkat ibu jari tangan kananku ke depan. "Oke Bu Boss," ujarku sambil tersenyum. Yusy adalah salah satu anggota klub Olim yang sangat peduli kepada setiap anggota-anggotanya. Dia orang human resource banget, nggak salah pilih dia jadi wakil ketua. Oh, aku belum pernah bilang ya kalau aku sekarang menjabat jadi ketua klub Olim? Yah, bukan jabatan paling penting sesekolah semacam Ketua OSIS sih, nggak keren-keren banget juga kaya anak-anak klub fotografi yang pada hits Instagram, tapi cukup keren buat banyak anon yang follow dan nanya bejibun pertanyaan di akun ask.fm.

Ketika sampai di pintu kelas, teman-teman cowok sekelasku tiba-tiba menatapku dari ujung kepala ke ujung kaki, secara berturut-turut. Lalu menatap layar handphone, dan kembali menatapku lagi.

What's going on? Yang langsung terpikirkan olehku adalah kejadian semalam. Apakah ada yang menyebarkan kabar buruk tentangku? Oh shit. Please jangan sekarang.

Aku mendekati kerumunan mereka di bangku Edo, teman sekelasku. "Kenapa?" tanyaku.

"Lo mirip banget sama cowok di foto ini. Iya nggak sih?" Edo mengulurkan sebuah foto dari sebuah akun Instagram.

Aku merasa itu benar aku. Foto itu tidak secara jernih mengambil fotoku, tapi tentu saja aku tetap tahu kalau itu aku. Yang difokuskan oleh fotografernya adalah air mancur dan pelangi yang ada beberapa meter jaraknya dari tempatku berdiri. Foto itu, kalau kamu bisa melihatnya langsung, percayalah kalau kata yang langsung kalian pikirkan adalah: Wingga ganteng banget. Tidak, maaf bukan itu, tapi kedamaian. Bahkan sekalipun aku tahu, di foto itu aku tidak sedang sangat damai pada kenyataannya, tapi senyumanku tertangkap sangat mendamaikan oleh kamera itu. Entah kenapa.

"Lo sekarang alih profesi jadi talent foto juga Ngga? Jangan-jangan lo mau beralih mimpi jadi model?"

Aku tertawa singkat. "Nggak lah. Ini aja gue nggak tahu siapa yang ambil fotonya,"

"Oh ya? Lo harus minta royalti berarti. Dia udah motret tanpa izin,"

"Itu tadi di akun Instagram siapa?"

"Alanakenisha,"

"Alana?"

. . .

To be continued..


Hay gengs~

Akhirnya ini benar-benar posting Episode #10 dengan POV WIngga.

Uwuwuw aku pengen banget lanjutin nih sebenernya. Tapi udah cukup nggak buat bikin kalian penasaran next episode-nya gimana? Wkwk

Tapi lagi, sayang banget next episode bukan POV-nya Wingga. Jadi sabar dulu kalo penasaran sama next-nya Wingga yah wkwk.. Next Friday kita ketemu sama Alana!

Makasih banget udah ngikutin cerita ini sampai sepuluh episode. *pelukciumjauh wkwk

See you, guys~


Too Far to Hold [COMPLETED]Where stories live. Discover now