Episode #16: His Laugh

22.6K 1.7K 230
                                    

Alana

Sepertinya lebih baik aku tidak menyapa duluan. Atau lebih baik aku menyapa duluan? Kalau aku menyapa duluan, nanti dia tahu, kalo aku udah tahu dia yang mana? Kelihatan dong kalo aku pernah kepo tentang dia. That's not cool. Jadi, sepertinya lebih baik aku diam saja.

Trus? Jangan-jangan ada yang salah dengan penampilanku malam ini sampai membuatnya tidak mengenaliku? Apakah make-up-ku terlalu menor? Jangan-jangan mukaku seperti ondel-ondel? Ah, sepertinya tidak seburuk itu. Jihan bilang sudah perfect. Tentu tidak ada yang perlu diragukan dengan anggukan perfect dari Jihan. Yeah, kuharap begitu. Paduan antara blouse lengan pendek biru dongker dan celana culotte warna putih kurasa bukan pilihan yang buruk.

Terlihat olehku, Wingga berjalan sampai dekat pigora besar lukisan yang terpasang di tengah interior café. Sesaat kemudian, handphone-ku berbunyi tanda notifikasi masuk. Aku segera membukanya saat tahu itu dari siapa.

@winggaranuvida : Aku udah di Preview. Kamu dimana?

@alanakenisha : Aku juga udah di Preview

Tampak di ekor mataku, Wingga sedang memandang berkeliling, mungkin mencariku. Tapi aku berpura-pura tidak melihatnya, dan justru menatap handphone-ku seakan-akan handphone itu mendadak tampak lebih menarik dari apapun saat ini.

@winggaranuvida : Ohya? Dimana? Aku berdiri di dekat lukisan

Do I have to wave my hands towards him? Ah, please aku tidak ingin menjadi yang terlihat sangat excited dengan pertemuan ini. Sengaja tidak langsung membalas pesan Wingga, aku berjalan masuk ke café, dan duduk di kursi yang menurutku paling cantik pemandangannya di antara yang lain. Dua kursi dengan meja dekat jendela kaca super besar yang menunjukkan pemandangan jalan dari lantai dua.

@alanakenisha : Aku duduk di kursi dekat jendela kaca

Bagusnya adalah, dari sisi sebelah sini aku tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan Wingga.

@winggaranuvida : Oke, aku kesana

Dan, dasarnya aku memang tidak bisa menahan rasa excited. Ketika sosok Wingga tertangkap oleh mataku, akhirnya tanganku terlambai ke arahnya, dan bibirku mungkin juga terlalu excited karena kurasa senyumku terlalu lebar detik ini. Pertama kali matanya tertumbuk padaku, mata Wingga membulat kaget, tapi kemudian tersenyum lebar, lebih lebar daripada senyumku, I guess.

Apa maksud senyumannya ini? Senyumnya bahkan belum hilang sampai dia duduk di depanku. Aku hampir bertanya, apakah dia baik-baik saja, saat kemudian dia mengatakan kalimat yang benar-benar tidak kuprediksi.

"Kamu lebih cantik kalo nggak di kegelapan ya,"

"Eh?" kegelapan apa?

"Kamu juga lebih cantik daripada di foto,"

"Aah.. Iya," ujarku sambil mengangguk setuju.

"Iya? Kamu udah tahu?" tanya Wingga setengah kaget sambil menahan tawa.

"Pasti iya dong, ciptaan Tuhan kan selalu lebih indah daripada ciptaan manusia,"

Wingga kini benar-benar tertawa. "Aku kira kamu bakalan bilang dilihat dari bulan pun kamu emang cantik,"

Aku tidak bisa tidak ikut tertawa. "Yaelah, pede banget gue bilang kaya gitu,"

Ini apa, Tuhan? Kenapa impression pertamaku dengannya adalah tertawa selepas ini? Boleh nggak kalo aku percaya sama premis bahwa kalau kamu bisa tertawa ngakak bersamanya, itu artinya dia sedang membuka hatinya untukmu? Boleh lah ya?

"Ini pertama kalinya lho aku ajak ketemu orang asing lewat IG," ujar Wingga setelah tawanya habis.

"Oh ya?" bukan itu sebenarnya yang aku pikirkan. What? Orang asing? Gue dianggap orang asing? Oke, fine.

Dan, Wingga tersenyum lagi. Oh, god. Kenapa dia mendadak jadi se-manis ini? Ataukah aku yang terlalu excited saking bahagianya, sampai apapun terlihat lebih lebay dari yang sebenarnya?

"Kamu pasti sering ya diajak ketemu fans-fans-mu lewat DM IG?"

Aku tertawa lagi. "Fans apaan cobak,"

"Aku baru tahu hari ini kalo ternyata kamu anak hits sekolah kita. Cupu banget ya aku?"

"Hits apalagi cobak,"

"Jaman sekarang katanya anak olim cupu kaya aku gini mah butiran debu. Anak hits itu yang kaya kamu gini, cantik, suaranya bagus, suka musik, suka fotografi, model, traveler, foto-fotonya bagus di IG, followers-nya banyak, yang like fotonya banyak..."

Aku shock mendengar penjelasan cerewet Wingga yang entah kenapa mendadak dia menjadi super cerewet. "Oke-oke iya. Aku emang hits sih, kalo upload foto banyak yang nge-like,"

Wingga lagi-lagi tertawa. "Tadi kamu bilang iya kamu cantik, sekarang kamu bilang iya kamu anak hits? Njir, pede-nya anak fotografi totalitas banget ya ternyata," ujarnya di sela-sela tawa.

"Eh jangan salah lho Kak. Buat jadi anak hits itu banyak pengorbanannya. Perjuangan fotografer itu nggak main-main ya. Foto yang mau kita upload ke IG biasanya kita pikirin banget, dikonsep banget. Sialan malah diketawain," gerutuku menatapnya sinis.

Tiba-tiba, Wingga menegakkan duduknya, meletakkan kedua tangannya di atas meja mendekatkan wajahnya ke arahku, menatapku dengan serius. Sangat serius. "Kalo foto yang kamu upload hari ini juga penuh perjuangan nggak motretnya?"

Foto-yang-aku-upload-hari-ini? Ah, sial.

. . .

Halo, 안녕하세요~

Author ini baru saja kelar rangkaian ujian akhir semester. Maaf ya, nggak update-update gegara kalap belajar mulu. Wkwkk

Tapi Alhamdulillah ini udah selesai, dan author mau bayar hutang nggak update kemarin-kemarin dengan segera, secepat kilat, kalo bisa sebelum 2016 habis wkkkk gapenting.

Soal cast, jujur saking kalapnya belajar juga, jadi belum sempet bener-bener mikir siapa yang cocok jadi Alana sama Wingga. Jadi very soon yah gengs.

Episode selanjutnya yang mau aku upload, Episode Wingga loh~

Kira-kira kenapa tetiba Wingga jadi super ramah? Mendadak ketawa-ketawa mulu sama Alana? Padahal Alana tahu Wingga sampai ngajak dia ketemu malam itu pasti bahasannya serius banget kaan?

Why? Why? Whay? *lay

See you very soon guys!

사랑해요~

Too Far to Hold [COMPLETED]Where stories live. Discover now