Bukan Episode #38: Extra Part + Novel Gratis

26.2K 1.4K 1.7K
                                    

I am nothing than just Alana.  

. . .

Alana

Saking melamunnya, aku tidak memperhatikan jalan di depanku. Mendadak, aku menabrak seseorang, aku segera mengucapkan maaf, tanpa memperhatikan siapa orang yang kutabrak. Tiba-tiba, tangannya menarik tanganku untuk berbalik menghadapnya. Aku menatapnya kaget luar biasa. Aku sangat mengenali cara sosok itu menarik tanganku. Ya, itu sosok yang sedari tadi memenuhi pikiranku.

"Apa kabar?" tanyanya sambil tersenyum menatapku.

Aku masih menatapnya kaget. Ini bukan mimpi kan? 

"Gue baik," ujarku memasang ekspresi datar. Aku bingung detik ini, apakah aku harus tersenyum juga? Ataukah aku harus memasang wajah marah? Entahlah.

"Lo nggak nanya kabar gue?" dia masih tersenyum.

"Ah, iya," aku berkata ya, tapi justru tidak langsung menanyakan kabarnya.

Tiba-tiba, tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia menarik tanganku mengikutinya. Kamu bertanya reaksiku bagaimana? Tentu saja aku tidak bisa menolak untuk mengikuti kemana dia pergi. Bahkan tidak dia minta pun aku sudah lama menguntitnya kemanapun dia pergi. Dia menyuruhku duduk di depan minimarket tempat aku membeli kimbap tadi, sementara dia masuk dan berjalan menuju kulkas penyimpan minuman di dalam minimarket.

Dia kembali dengan dua kaleng minuman, menyurukkan satu ke arahku. "Makasih," ujarku bergumam, berusaha menghindari tatapan matanya.

"Lo masih marah Al?"

"Kelihatannya gimana?"

"Udah nggak marah,"

Aku ingin mengeluarkan suara lengkingan, 'Kok lo sotoy sih,' tapi yang keluar dari bibirku bukan kalimat itu. "Ngapain marah lama-lama, nggak ada untungnya juga,"

Wingga mengangguk-angguk. Ada senyuman tipis di sudut bibirnya, entah apa arti senyuman itu. "Lo kesini bukan nguntit gue, kepo gue ada dimana kan?"

"Ih, PD banget! Gue lagi di rumah Roger kok, di deket sini,"

"Gue udah tahu," trus tadi ngapain nanya Ngga?

"Kok bisa tahu?"

"Tadi dikasih tahu Devo,"

Mataku membulat. "Devo ngasih tahu apa aja?"

Mati aku kalau sampai Devo mengatakan pada Wingga bahwa aku menanyakan kabarnya.

"Lo nanyain kabar gue,"

Sialan. Devo terlalu jujur.

Aku hanya membungkam, bingung harus ngomong apa. Aku membuka kaleng minuman yang ada di depanku, dan meminumnya sedikit. "Gimana kabar lo Ngga?" tanyaku akhirnya.

Wingga tertawa kecil menatapku. "Lo udah tahu jawabannya dari Devo kan,"

"Gue butuhnya jawaban dari lo, bukan dari Devo,"

"Kenapa lo butuh jawaban gue?"

"Ya kalo nggak boleh tahu kabar lo juga nggak apa-apa sih, gue nanya kabar doang kok lo sensi gitu sih," ujarku beruntun sambil meliriknya sinis.

Wingga tertawa terbahak-bahak. "Ini baru gue tahu lo nggak marah lagi sama gue,"

Aku menggaruk leherku yang tidak gatal, salah tingkah sendiri oleh ucapannya. Lalu aku menyurukkan satu kimbap segitiga ke arah Wingga.

Ingin sekali aku bertanya padanya, kenapa tidak menghubungiku sama sekali seminggu ini. Tapi untuk apa, dan kenapa memangnya kalau dia tidak menghubungiku? Apakah itu kewajiban, juga bukan kan? And who am I, hoping for him to contact me when I was mad? I am nothing than just Alana.

Too Far to Hold [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang