Episode #7: Eye to Eye

40K 2.8K 93
                                    

*Eits!

Sebelum baca episode ini, cek episode sebelumnya yah. Ada potongan part Alana yang nyasar disana. Wkwk

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Alana

Tangan itu benar-benar tangan seorang Wingga, kawan-kawan. Bisa dibayangkan bagaimana excited-nya aku? Luar biasa sampai terbengong tidak percaya selama lebih dari tiga puluh detik, sebelum yang terjadi kemudian membuatku terbengong lebih lebar lagi.

Wingga tiba-tiba pingsan di tempat! Untung nggak kejedot bangku-bangku yang ada di perpustakaan. Setelah bengongku selesai, aku berubah panik luar biasa. Hey, aku anak fotografi, bukan anak Palang Merah Remaja (PMR), jadi jangan ditanya apa yang harus aku lakukan saat keadaan darurat seperti ini, karena aku tidak tahu. Sumpah.

Aku berteriak minta tolong, tapi tidak ada orang yang menyahut. Bahkan hantu pun tidak menyahut, padahal aku tahu dia mungkin mengintip sambil cekikikan entah di sudut mana. Akhirnya, kutinggalkan Wingga disana dan aku turun keluar dari perpustakaan dengan bantuan cahaya senter handphone. Beruntung, baru saja keluar dari perpustakaan, aku mendapati Pak Royco sedang berjalan di lorong. Percayalah, itu benar Pak Royco, bukan hantu.

"Loh, Mbak Lana kok belum pulang?" tanyanya.

"Duh, Pak! Gawat Pak!" ujarku panik.

"Iya ini gawat, ada pemadaman listrik PLN. Tapi kok tidak diumumkan sebelumnya ya?"

"Aduh, ini lebih gawat lagi Pak!" aku mendorong-dorong Pak Royco ke pintu masuk perpustakaan. "Ada orang pingsan di dalam perpustakaan!"

"Hah?"

Aku dan Pak Royco tergopoh-gopoh menuju tempat terakhir aku meninggalkan Wingga. Pak Royco menelfon taksi, dan kita membawanya ke rumah sakit saat itu juga. Dokter hanya mengatakan Wingga mungkin kelelahan, tidak makan tepat waktu, dan menderita asma. Tapi entah kenapa aku merasa ada hal lain yang terjadi padanya. Entah apa.

Dan, bisa ditebak kan siapa yang mencariku pertama kali detik ini? Yeah, Jihan pelakunya, dengan bukti belasan missed calls muncul di layar handphone-ku. Dia sudah menjamur di rumahku, mungkin menyaksikan Budhe Rinas nonton sinetron, atau bahkan hanya dilirik oleh Denier tanpa ekspresi.

"Maaf, Maaaaaaaf banget Jihanku sayang," ujarku memasang suara semanis mungkin.

"Pasti mau bilang nggak jadi bisa nemenin?" Aku bertaruh, dia sedang menyun berpuluh-puluh senti di ujung sana.

"Iya! Ada urusan pentiiiing banget yang menyangkut hajat hidup orang banyak,"

"Selalu tetiba sok penting kayak presiden!"

"Kamu nggak bakal percaya apa yang terjadi. Besok janji cerita deh!"

"Awas besok bilang nggak jadi cerita!"

"Iiih, ngambek beneran? Laporan ke Mas Rasha masih berlaku loh!"

Jangan ditanya laporan apa. Tentu saja bibit-bibit ketidaksetiaan Jihan pada pacar LDR-nya. Mana ada sih anak SMA secantik Jihan dibeliin es krim sama cowok ganteng nggak mau? Kadang aku kasihan juga padanya. Terlalu setia sama pacar yang kasat mata, sampai teman mainnya hanya aku, recehan rupiah yang belum pernah pacaran seumur hidup. Jihan akhirnya menutup telepon dengan hati dongkol yang bisa dibikin semur jengkol.

Pukul 9 malam, Pak Royco pamit duluan karena harus menjemput istrinya dan mengunci gerbang sekolah. Tinggal aku sendirian menunggui Wingga yang tak kunjung bangun. Tahu apa yang kulakukan? Tentu saja aku tidak ingin kehilangan momen *mengibaskan rambut PD. Aku memotret dia yang sedang tertidur lelap dari berbagai sudut. Kapan lagi aku bisa dapat fotonya dari jarak sedekat ini kan? Sesempit apapun kondisi, harus selalu pintar memanfaatkan kesempatan. Itu salah satu quote penting yang aku pelajari di klub fotografi. Bahasa gaulnya adalah: 'Lo harus dapet foto yang bagus, ga peduli lo kejepit pintu sekalipun!'

Too Far to Hold [COMPLETED]Where stories live. Discover now