Episode #4: Apakah dia Wingga?

53.3K 3.5K 64
                                    

Alana

"Alana!" Roger memanggilku sambil berlari ke arahku hanya beberapa saat setelah aku berpamitan pergi.

Aku berhenti dari langkahku mengikuti Wingga, dan berbalik menatap Roger dengan penuh tanda tanya. "Kenapa?" tanyaku kesal karena dia mengganggu momen-momen berhargaku berburu foto Wingga.

Roger mengulurkan tas Sony Alpha-ku yang mungkin tadi terjatuh dan aku tidak menyadarinya. "Jangan terlalu fokus, nanti lukanya nambah-nambah lho," ujarnya sambil mengerling ke lututku yang masih dibalut kain kasa akibat tragedi bokong motor Honda tadi pagi. Entah dia tahu darimana aku mendapatkan luka itu akibat terlalu fokus menatap seseorang.

Aku nyengir lebar menatapnya. "Thank youu partner!" aku menepuk bahu Roger keras-keras sampai dia mengaduh, lalu mengedarkan pandanganku mencari lokasi Wingga. Saat aku sudah menangkap sosoknya, aku kembali menatap Roger sambil nyengir lebih lebar. "Pergi duluan ya! Bhay!"

Roger membalas lambaian tanganku sambil tersenyum lebih lebar dariku sampai terlihat gigi-gigi putihnya.

Apakah luka yang dimaksud Roger hanya abrasi di lutut ini? (Wow, sekarang aku menggunakan kosa-kata abrasi! *Plak!). Sepertinya lebih dari itu. Roger berkali-kali mengingatkanku untuk tidak terlalu totalitas dalam mencintai seseorang. Yah, dia melihat aku terlalu menyukai Wingga, terlalu bersemangat tentang segala tentangnya, terlalu berbinar-binar, dan terlalu-terlalu lainnya yang aku tidak pernah memperdulikannya.

Tapi Roger memang sahabat yang sangat baik yang mengingatkanku agar tidak terlalu terluka ketika nanti tiba-tiba Wingga punya pacar, yang tentu saja bukan aku. Dan aku selalu menjadi sahabat yang tidak baik dengan hanya menanggapi nasehatnya dengan senyuman.

Akibat tertahan oleh skuad cowok-cowok klub fotografi, aku tidak mendapatkan banyak foto sepanjang perjalanan menuju perpustakaan. Alhasil, kini aku akan mengikutinya masuk ke perpustakaan, meskipun yang aku lakukan nanti justru membaca komik atau membuat sketsa-sketsa nggak jelas.

"Ngapain hari pertama sekolah udah ke perpus?" tanya Denier, sepupu cowok yang tinggal serumah denganku saat berpapasan denganku di pintu perpustakaan.

"Lo juga ngapain?" balasku tak kalah sinis dari ucapannya.

"Suka-suka gue dong," ujarnya sambil berlalu pergi dengan muka tanpa ekspresi.

Tidak perlu kaget, Denier, sepupu cowok yang seumuran denganku itu memang cenderung tidak akur denganku. Yah, menurutku dia agak weird, selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Hanya antara dia, COC, Dota 2, dan segala macam game yang aku tidak tahu namanya.

Dan mungkin dia juga menganggap aku ini weird juga, salah satunya yang masih aku ingat sampai sekarang adalah scene saat aku excited sekali memotret sekawanan kunang-kunang di halaman depan rumah dari berbagai sudut sampai tersungkur di rumput. Itu adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di rumah sini, setelah sejak lahir aku tinggal di Jakarta bersama Mama. Denier tertawa singkat. Sangat singkat mungkin sampai yang terdengar hanya suaranya yang tertahan, "Huk, huk".

Itu terdengar semacam tawa sinis dengan ucapan: "Ngapain melakukan hal yang nggak jelas seperti itu? Over excited hanya karena sekawanan kunang-kunang?"

Hey, berapa puluh tahun sekali sih ada kunang-kunang lewat di Jakarta? Tentu saja aku excited saking nggak pernahnya ada pemandangan seperti itu di ibu kota. Mau berharap apa, ada sekawanan kunang-kunang tiba-tiba lewat di depanmu saat kamu di atas motor abang Gojek di Jakarta? Kalau sampai aku pernah menemukannya, bisa sujud syukur mungkin aku.

Oh, sorry kalau agak lebay. Tapi intinya memang aku tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan baik dan benar kalau berurusan dengan Denier. Jadi, whatever dia mau ke perpus, mau loncat dari pagar sekolah ke pagar rumah (rumah kami tepat di samping sekolah), mau jatuh jungkir balik, aku mungkin hanya akan melakukan hal yang sama. Tertawa sangat singkat dengan bunyi: "Huk, huk."

Too Far to Hold [COMPLETED]Where stories live. Discover now