Code XIV - Jatuhnya Sang Pejuang #3

2.6K 285 19
                                    

"Kebenaran memiliki banyak variasi dan versi, tergantung dari persepsi yang mengungkapkannya." Kalimat itu diucapkan oleh Rha di tengah-tengah masa pelatihan Ain dan kedua sahabatnya.

Tidak hanya itu, Rha juga berkata bahwa mereka harus terus mencari kebenaran. Dari segala tempat, dari semua sudut pandang. Tidak hanya terpaku di satu titik, sampai mereka benar-benar yakin bahwa apa yang mereka lakukan saat itu adalah sesuatu yang benar.

Itulah yang memantapkan hati Ain, saat ia melayangkan serangan demi serangan kepada Grief.

Apa yang dikatakan oleh Grief tentang peningkatan Ain memang betul adanya. Kecepatan, gerak reflek, juga kekuatannya benar-benar meningkat dengan pesat.

Dari sudut pandang mereka, waktu seolah berjalan sangat lambat begitu kedua pasang senjata plasma itu terus beradu tanpa jeda. Orang biasa pasti akan merasa kesulitan untuk melihat gerakan mereka yang begitu cepat.

Tak terhitung berapa jumlah serangan, tangkisan dan hindaran yang mereka luncurkan setiap detiknya. Tidak ada satupun dari kedua petarung itu yang menyisakan celah.

Ive, yang tentu saja bisa melihat gerakan mereka berdua dengan baik, hanya terus mengamati dengan seksama. Sesekali ia melirik Agna yang wajahnya masih saja menyiratkan kekhawatiran dari semenjak Ain tiba di sana.

"Tenang saja, Agna. Ain bisa mengimbangi Grief," ujar Ive dengan lembut sembari mengusap kepala Agna yang terasa agak dingin.

"Hm, Bukan! Ain, Kuat!" jawab Agna sambil menggelengkan kepala.

Ive sedikit bingung dengan maksud perkataan Agna. Tapi ia bisa sedikit memahami kalau sebenarnya, Agna tidak merasa khawatir pada Ain. "Lalu?" tanyanya untuk memastikan.

Kali ini giliran Agna yang mengerutkan dahinya.

"Ain... Bunuh... Grief... Agna, takut!" ucap Agna dengan tubuh gemetar yang tidak dibuat-buat.

Terkejut. Hanya itu yang bisa Ive rasakan begitu mendengar perkataan Agna.

---|<V>|---

Bukan hanya Ain yang tengah mengeluarkan kemampuan bertarungnya secara maksimal. Agak jauh dari ruangan luas tempat Ain dan Grief bertarung, Riev juga tengah mati-matian menangkis serangan Teir di lorong yang menuju ke ruangan itu.

Kekuatan Riev memang meningkat pesat, tapi masih belum cukup untuk bisa mengalahkan Teir.

Kecepatan, kekuatan, reflek dan teknik masih diungguli oleh Teir.

Dalam pertarungan satu lawan satu, tentu saja Riev masih belum bisa mengalahkan Teir. Tapi bukan itu. Tujuan Riev memang bukan untuk mengalahkan Teir.

"Kiev, sudah belum?" Riev menghubungi kembarannya yang bersiaga di luar Agrrav, di dalam Hecantor.

"Belum. Bertahanlah sebentar lagi," jawab Kiev.

Tentu saja Teir tidak mendengar apapun dari Riev. Karena pemuda dengan senjata sabit bernama Scythe itu menghubungi Kiev melalui gelombang pikiran, yang dikirimkan ke antar pengguna cincin hasil modifikasi pasukan Chronos.

"Kalau aku mati, kuhantui kau seumur hidup!" ucap Riev yang tentu saja dibumbi candaan, sedikit menghilangkan ketegangan di saat seluruh serangannya tidak dapat melukai Teir sedikitpun.

Berapa kalipun Riev menebaskan Scythe miliknya, Teir bisa menangkisnya dengan cara membelokan arah serangan Riev.

Teir tidak beranjak dari tempat ia berdiri, tidak juga menyerang balik. Ia hanya menggerakan tangan kiri yang menggengam erat pedang plasma, menghalau setiap serangan dari Riev. Teir sengaja tidak menyerang Riev. Ia tengah melihat sejauh mana perkembangan Riev.

X-CodeWhere stories live. Discover now