ii. kami bangga menjadi neutron

29K 3.7K 1.6K
                                    

Kalau ada orang yang nunggu-nunggu hari pertama masuk sekolah, dengan berani saya bilang, mereka orang aneh.

Saya enggak takut dihujat. Karena ini negara bebas. Kalau ada yang hujat saya, nanti saya ngadu ke Bapak Presiden.

Enggak percaya? Coba aja. Presiden kan ada di mana-mana. Dia ada di atas papan tulis di setiap kelas. Kalau saya mau ngadu, tinggal teriak aja, beliau pasti dengerin dengan sabar dan tetap tersenyum.

Ah, omong-omong soal kelas dan sekolah, hari ini adalah hari pertama saya sebagai murid kelas sembilan, di semester dua.

Serius, saya merasa biasa-biasa aja. Dari semalam, teman-teman saya udah heboh di media sosial. Salah satu teman saya, ada yang bilang begini:

Enggak sabar masuk sekolah, deh :) :* <3 ^^v :( ^^ :"( :3 -_-

Waktu baca itu, saya cuma bisa ngelihat layar ponsel saya dengan bingung.

Itu kenapa ada ekspresi banyak banget? Dia bipolar apa gimana?

Omong-omong, sekarang saya sedang berdiri di depan kelas IX-2. Kelas yang menjadi kelas saya selama satu semester lalu, dan akan menjadi kelas saya juga selama satu semester ke depan. Kelasnya lumayan nyaman. Ada di lantai paling atas dan dekat tangga sama toilet. Terus jendelanya juga banyak dan lumayan besar-besar. Jadi kita semua enggak bakal kekurangan oksigen di sini.

Gimana kalau ternyata, kita tetap kekurangan oksigen waktu lagi belajar di siang bolong?

Ya, mungkin bisa, lah, jendelanya dipakai buat ngelemparin beberapa orang ke luar. Kan dengan begitu, karbondioksida dalam ruangan berkurang, dan oksigennya bertambah.

Lihat kan? Kelas yang jendelanya besar-besar itu indah.

"ARSA!" Suara itu sukses membuyarkan lamunan saya. Saya menoleh dan mendapati Toara berjalan mendekat.

Nama aslinya sih, Tiara. Tapi karena dia teriak-teriak mulu, dia dipanggil Toara sama nyaris semua orang (bahkan guru-guru dan mbak serta mas kantin). Parahnya, saya sekelas sama dia di kelas tujuh sampai kelas sembilan. Untungnya bentar lagi saya lulus. Sudah cukup penderitaan yang dialami telinga saya.

"Arsa, lo di SEMBILAN DUA lagi?" Toara sekarang sudah berhenti di depan saya.

Oke, sebelumnya, saya jelaskan dulu. Di sekolah saya, setiap pergantian semester, ada kemungkinan kami dipindahkan kelasnya. Alasannya sih, karena anaknya mungkin enggak cocok sama kelas lamanya. Kalau menurut saya, jika sistem ini diberlakukan kepada anak kelas tujuh dan delapan sih, enggak apa-apa. Tapi kalau dilakukan ke anak kelas sembilan, nanggung banget. Udah mau lulus juga.

Jarang sih, ada anak kelas sembilan yang dipindahin. Kalau ada juga, paling cuma satu atau dua orang.

Semoga Toara masuk ke dalam 'satu atau dua orang' itu.

"Iya," jawab saya. "Lo sembilan berapa? Kenapa lo di sini? Lo pindah, kan? Sana ke kelas lo aja."

Toara menatap saya dengan bingung. "Kelas gue DI SINI."

Di sini? Mungkin maksudnya koridor...

"KITA sekelas LAGI!"

Yipi.

"LIHAT, nih!" Toara menunjuk kertas berisi nama anak-anak IX-2, yang ditempel di pintu kelas. "TOARA PRANADA--eh, kok TOARA?!"

"Salah ketik, kali," kata saya.

Toara memajukan bibirnya dengan sebal.

"Yang penting nama belakang lo enggak salah ketik," kata saya menenagkan."Kalau salah ketik, nanti kita sekeluarga."

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now