iv. gerak fototropis mengungkapkan jati dirimu

21.5K 3.1K 613
                                    

"Jadi?" tanya saya kepada Fia.

Sekarang, saya dan Fia sudah duduk bersebalahan dengan manis di meja kantin. Di depan kami masing-masing, ada sepiring batagor yang siap disantap habis.

"Jelasin sekarang sebelum temen-temen yang lain dateng," lanjut saya sambil melirik ke arah gerombolan anak-anak cewek lain yang sedang sibuk berlama-lama membeli air mineral. Saya lega anak-anak cowok bau keringat pada beli air mineral. Gara-gara itu, anak-anak cewek jadi pada betah di sana. Dan karena itu, saya dapat kesempatan ngobrol berdua sama Fia sebelum cewek-cewek itu (yang merupakan teman-teman sekelas saya) datang.

Fia menghela napas. "Aura penyihir itu beda sama aura orang biasa," kata Fia. "Gue, sebagai manusia normal, lebih gampang ngebedainnya. Penyihir itu punya aura yang kuat."

Saya memutar kedua bola mata saya. "Informatif banget. Makasih, lho."

Fia berdecak kesal. "Susah ngejelasinnya, Arsa! Anggap aja gini deh, orang-orang kayak gue--penyihir yang enggak bisa sihir--itu kayak tunas tumbuhan yang ditaruh di dalam tempat gelap. Satu-satunya sumber cahaya cuma dari jendela kecil di pojok. Nah, anggep cahaya itu penyihir, kegelapan itu manusia normal. Tunas bakal otomatis bergerak mencari cahaya. Bakal otomatis ketarik. Dan itu yang gue rasain."

"Kayak gerak tumbuhan fototropis gitu, ya," kata saya menyimpulkan.

Fia mengangguk. "Iya, gitu. Susah juga ngejelasinnya gimana. Udah kayak mendarah daging gitu di keluarga gue. Dari kecil, gue udah diajarin cara bedain manusia biasa sama penyihir. Kalau setiap ketemu orang di jalan, bokap sama nyokap gue langsung ngasih tahu itu penyihir atau bukan. Jadi lama-lama, gue otomatis tahu sendiri. Dan ngenalin senter lo, lebih gampang lagi."

"Tapi ada buku paduannya gitu, enggak?" tanya saya. Ya, siapa tahu aja, kan? Di dalam bayangan saya, Fia kecil membaca buku besar berwarna-warni. Di sampulnya ada tulisan: Tips dan Trik Mengenali Temanmu Penyihir atau Bukan! dengan gambar penyihir lucu bertopi tinggi lagi naik sapu terbang sambil dadah-dadah.

"Ada," jawab Fia. Ia menunjuk ke belakang saya, tempat Cewek-cewek Penyuka Cowok Bau Keringat berada. "Kayaknya udah pada mau ke sini. Nanti deh gue jelasin lagi."

Saya menoleh ke belakang. Benar saja, gerombolan anak Cewek Penyuka Cowok Bau Keringat sudah berjalan ke arah saya dan Fia.

"ANJIR! Gue SENENG banget," kata Toara sambil menghempaskan dirinya di sebelah kiri saya.

"Kenapa lo?" tanya saya.

"Gue tadi BERDIRI di samping FARHAN," kata Toara sambil senyum-senyum sendiri. Menurut saya, dia mirip orang yang baru tersambar petir.

Manda (salah satu teman sekelas saya di IX-2 yang belum sempat saya sebutkan) menimpali, "Ya elah, Toa lebay amat. Gue dong tadi dikasih air mineralnya Taufan."

Saya melongo. "Man, lo ntar sore gue anterin ke dokter, ya."

"Hah? Kenapa?"

"Masa lo seneng sama Topan?" tanya saya. Maksudnya, halo? Taufan itu salah satu anak IX-2 juga, dan dia gayanya selangit. Gara-gara kebanyakan gaya itu, dia dari kelas tujuh dipanggil Topan. Karena tahu kan, angin topan itu sukanya rusuh-rusuh enggak jelas. Berasa keren, padahal nerek (baca: kebalikannya).

"Tahu, ya," timpal Nabila yang baru saja datang dengan sepiring nasi goreng di tangannya. "Mending sama Justin Bieber."

Manda memain-mainkan botol air mineral di tangannya. "Ya enggak apa-apa kali, Sa, Nab. Topan enggak parah-parah banget, kok. Buat santai-santai aja, lah."

Kania, yang beberapa detik lalu baru mendaratkan pantatnya di sebelah Manda berkata, "Gaya lo santai-santai. Kayak Topannya mau sama lo."

Manda memberengut. "Kayaknya sih mau."

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now