viii. 5w + 1h itu penting

16.8K 3K 829
                                    

Setelah selesai duduk-duduk di kedai minuman, saya dan Rangga Thomas Sangster setuju untuk pergi ke rumah saya.

Sebenarnya, ini adalah ide Rangga Thomas Sangster. Saya benar-benar tidak pernah mempertimbangkan rumah saya sebagai tempat saya dan Rangga Thomas Sangster harus datangi. Tapi, Rangga Thomas Sangster kemudian berkata, "Kata lo tadi, bokap lo penyihir. Kenapa enggak kita ke rumah lo aja? Siapa tahu dia tahu cara-cara buat balikin gue ke wujud asli gue."

Dan saya langsung mengiakan. Dalam hati saya mikir, kenapa otak saya lemot banget? Apa cowok ganteng di depan saya (Thomas Sangster maksudnya, bukan Rangga) memengaruhi kerja sistem syaraf pusat saya?

Ya, Papa emang pasti belum pulang kerja. Tapi ada Mama di rumah--siapa tahu aja, Mama tahu cara-cara aneh apa gitu buat balikin Rangga Thomas Sangster ke wujud awalnya.

Selama di perjalanan menuju rumah saya (kami jalan kaki), Rangga sibuk nanya ini-itu soal dunia sihir. Awalnya, waktu saya jelasin semuanya ke Rangga, saya kira dia bakal ngetawain saya, ngira saya gila, bodoh, tukang ngayal, atau apalah. (Karena itu yang bakal saya lakukan kalau saya ada di posisi Rangga.)

Tahunya enggak.

Mungkin emang pada dasarnya, dia udah gila kali, ya.

"Sa, lo pernah naik sapu terbang, enggak?" tanya Rangga Thomas Sangster ketika kami tinggal beberapa langkah lagi menuju rumah saya.

Sebelum saya sempat menjawab, Rangga Thomas Sangster berkata, "Oh! Makanya ya, kemarin lo sama Fia teriak-teriak soal sapu terbang? Kenapa, sih? Sapu terbang lo ilang?"

Saya menghela napas. "Pertama, gue enggak pernah naik sapu terbang. Lagi pula, gue ragu ada penyihir zaman sekarang yang pernah naik sapu terbang," jelas saya. "Kedua, soal kemarin itu, enggak ada hubungannya sama gue ataupun dunia sihir-menyihir. Jadi lo lupain aja."

Rangga Thomas Sangster membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi saya buru-buru mengangkat tangan saya dan berkata, "Ntaran lagi aja nanyanya. Kita udah sampai."

Saya dan Rangga sekarang berada di depan rumah saya. Mobil Papa enggak ada. Tapi, ada mobil Mama yang terparkir dengan cantik. Bagus, lah.

"Ayo, masuk," kata saya sambil melangkah menaiki undakan. Rangga Thomas Sangster mengikuti di belakang saya.

Saya menekan bel rumah saya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara dari dalam rumah.

"Siapa, ya?"

"Arsa, Ma!" sahut saya.

"Arsama?" tanya Mama dari dalam rumah. "Asrama maksudnya? Maaf, saya enggak ngasih sumbangan buat acara-acara asrama."

"Ini Arsa! Anak Mama! Anak Mama yang pertama! Arsa!" kata saya tidak sabaran.

Beberapa detik kemudian, pintu dibuka oleh Mama.

"Arsa?" tanya Mama dengan bingung.

"Iya."

"Kamu mau minta sumbangan buat asrama? Perasaan kamu enggak sekolah di asrama, deh," kata Mama, masih dengan bingung.

Saya menghela napas. "Enggak ada asrama, Mama! Cuma Arsa."

"Cuma kamu?" tanya Mama. "Terus, itu yang di belakang siapa? Kok pakai topi? Eh, itu bukannya topi kamu, ya? Maling! Maling!"

"Mama!" sela saya. "Mama abis nonton apa, sih? Kok lebay banget."

Mama nyengir. "Tahu kan, serial drama gitu. Jadi kebawa suasana, deh."

Saya lagi-lagi menghela napas.

"Kamu enggak sekolah?" tanya Mama.

"Ma, boleh enggak aku masuk dulu?" tanya saya.

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now