xii. saya tidak bisa menghantarkan arus listrik wahai bapak zeus

15.6K 2.6K 550
                                    

Hari ini saya ada PM atau Pendalaman Materi. PM di sekolah saya diadakan satu jam sebelum bel berbunyi, setiap hari Rabu.

Sebetulnya, saya enggak akan repot-repot datang tepat jam setengah enam kalau jadwal hari ini bukan Matematika, atau kalau yang ngajar bukan Pak Kabaliga.

Pak Kabaliga ini, guru Matematika khusus kelas sembilan, yang sangat mencintai Matematika. Karena itu, dia jadi orang yang akurat banget. Mirip Bu Indah versi Matematika.

Dan kayaknya, Pak Kabaliga ini, udah ditakdirkan buat cinta sama Matematika. Buktinya, namanya kalau dianagramin jadi Kalibagi.

"Hai!" sapa Kania, membuyarkan lamunan saya. Saya dan Kania sekarang berdiri di depan kelas. Pak Kabaliga belum kelihatan. Sekarang masih jam setengah enam kurang sepuluh menit. Pak Kabaliga mungkin lagi jalan dari ruang guru dengan kecepatan yang udah dihitung dengan cermat, supaya dia bisa sampai di kelas tepat jam setengah enam.

Kayaknya, kalau Pak Kabaliga jadi Cinderella, dia enggak bakal kehilangan sepatu kacanya. Soalnya, dia pasti udah ngitung-ngitung harus keluar dari istana jam berapa.

"Halo," balas saya kepada Kania.

Kania tampak ingin berbicara, dia sudah membuka mulutnya, tapi kemudian, mulutnya ditutup lagi.

Dia jadi mirip ikan.

"Lo mau ngomong apaan?" tanya saya.

Kania terlihat ragu sebentar sebelum menjawab, "Menurut lo... Toara kemarin kenapa?"

Saya merasa seperti Zeus baru saja mengarahkan tongkat petirnya ke saya.

Mati.

Saya makin merasa enggak enak. Toara emang enggak dimarahin kecuali karena dia pakai kalimat enggak efektif (yang sebetulnya, salah saya juga. Kan saya yang ngatur dia ngomong apa). Tapi tetep aja, Toara yang harus nanggung malu.

Kania melangkah memasuki kelas, saya mengikuti di belakangnya.

"Gue enggak nyangka deh, Sa. Toara? Suka sama Rangga? Dia bahkan enggak yakin namanya Rangga itu beneran Rangga atau Mangga!" kata Kania.

Di dalam kelas, sudah ada sebagian anak IX-2. Tapi Toara belum ada. Begitu juga dengan Rangga.

Kania berjalan ke arah tempat duduknya, saya tetap mengikuti, berhubung Fia belum kelihatan batang hidungnya juga.

Ini anak-anak yang belum pada dateng pada nyari mati apa gimana, ya?

"Menurut lo gimana, Sa?" tanya Kania sambil meletakkan tasnya di atas meja.

"Eh?" Saya kebingungan. "Menurut gue, yah, gue kaget juga, lah."

"Nah, kan!" Kania menghempaskan dirinya di atas kursi. "Terus, lo lihat muka Rangga pas Toara ngomong, enggak?"

Saya menggeleng. Waktu itu, saya sibuk berkonsentrasi mengatur ucapan Toara--saya tidak sempat memerhatikan keadaan sekitar. Tapi, saya yakin, wajah Rangga pasti menandakan sesuatu yang buruk. Sama sekali enggak mirip Thomas Sangster yang enak dilihat.

"Mukanya... kaget banget. Tapi waktu udah beberapa saat, dia sempet ketawa, Sa!" seru Kania tidak percaya.

Saya memelotot. "Hah?"

"Serius!" jawab Kania. "Ketawa tanpa suara gitu. Cuma beberapa detik, sih. Habis itu mukanya datar, dan agak marah."

Sebelum saya sempat mengucapkan sesuatu, pintu kelas terbuka, dan masuklah Toara, diikuti oleh Fia.

Fia menangkap tatapan saya. Dia mengarahkan jempolnya ke arah Toara. Mulutnya bergerak-gerak, mengatakan sesuatu seperti, "Gigi gue ompong."

"Kania, gue ke Fia dulu, ya," kata saya.

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now