x. pak newton, hukum pertamamu bikin remaja sakit hati

16.8K 2.8K 539
                                    

Guru Fisika saya, Pak Sabar, baru saja keluar dari kelas. Seperti normalnya anak-anak di kelas tanpa guru, teman-teman saya di IX-2 memanfaatkan kesempatan ini untuk berbuat sesuka hati mereka.

Manda, Nabila, Naya, Diva, dan beberapa anak cewek lain sedang berkumpul di meja Manda. Saya tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan, soalnya yang terdengar dari sini cuma suara Nabila. Dan yang terdengar dari suara Nabila kan cuma, "Justin Bieber."

Kania, Toara, Bagas, dan Putra sedang berdiri di depan pintu kelas. Hari ini, mereka jadi petugas piket. Dan petugas piket bertugas berjaga di depan pintu pada saat-saat seperti ini. Tugas mereka adalah untuk memberi peringatan kepada kami kalau ada guru yang datang mendekat.

Saya sebenarnya ingin bergabung dengan Bella, Topan, dan Rani yang lagi asyik nonton film di laptopnya Rani. Tapi, Fia menahan saya di tempat duduk saya dengan berbagai pertanyaannya.

"Sa, lo udah nanya ke bokap lo belum? Dia punya musuh enggak?" tanya Fia.

"Udah. Katanya dia cuma punya satu musuh. Musuhnya udah tua banget dan enggak punya anak," jawab saya. "Jadi, Rangga bukan Jona, dan gue bukan Parni."

Fia memajukan bibirnya. "Gue punya perasaan enggak enak sama Rangga."

"Fi, bahkan Satudua Tigaempat yang umurnya udah seratus tahun lebih aja bisa salah," kata saya mengingatkan.

"Setelah gue pikir-pikir lagi, gue yang belum terlalu jago ngerasain aura-aura. Kalau gue udah jago, pasti caranya Satudua Tigaempat berhasil," kata Fia. "Maksud gue, dia kan udah seratus tahun lebih! Masa salah, sih?"

Iya, deh.

"Pokoknya, kayak kata gue kemarin, kira tetap harus ngawasin Rangga," kata Fia.

"Males amat."

Fia menatap saya dengan sebal. "Ini buat lo juga, Sa. Kalau Rangga ternyata beneran si 'penyihir lain', lo juga yang rugi. Kemarin, keberadaan senter lo udah terancam sama dia, lho."

Saya menangkat bahu. "Kan bisa aja cuma kebetulan. Lagian, Rangga kan emang dari sananya kepoan gitu," kata saya. "Lagian, kenapa jadi lo yang semangat banget, dah?"

Fia menghembuskan napasnya. Setelah beberapa saat, Fia menjawab, "Sebenernya, gue disuruh orangtua gue buat ambil bagian di masalah-masalah sihir kayak gini. Kalau gue bisa nurutin kemauan mereka itu, mereka janji bakal ngasih gue tongkat sihir."

Saya melongo. "Hah?"

"Iya, maaf baru ngasih tahu lo," kata Fia. "Jadi, keluarga gue itu dapat jatah dari BPP satu tongkat sihir buat setiap keluarga inti Wijaya. Nah, orangtua gue enggak tertarik. Mereka nawarin tongkat sihir itu buat gue sama adik gue. Nah, syarat buat dapetin tongkat sihir itu, gue sama adik gue harus ambil bagian di masalah-masalah sihir. Adik gue sih enggak terlalu peduli, kayaknya. Tapi kalau gue dan adik gue enggak ambil bagian di masalah sihir, tongkat sihir dari BPP itu bisa dikasih ke keluarga sepupu gue," jelas Fia. "Kan sayang. Mana sepupu gue ngeselin banget lagi. Lo tahu Pak Mulyono yang mirip kudanil? Nah, sepupu gue itu kayak Pak Mulyono versi anak SMA."

Saya tertawa menanggapi kalimat terakhir Fia. "Emang lo enggak bisa bujuk orangtua lo buat ngasih aja tongkat sihirnya? Atau paling enggak, ganti syaratnya ke yang lebih normal. Dapet nilai bagus atau apa gitu."

Fia mendengus geli. "Hadiahnya aja enggak normal, kenapa syaratnya harus normal?"

Iya juga, sih.

"Nah, lo satu-satunya harapan gue," kata Fia.

"Dangdut banget lo, najis," kata saya sambil mendengus geli.

Fia terkekeh. Sepersekian detik kemudian, ekspresinya berubah jadi ekspresi ala anak-anak yang pengen permen. "Seenggaknya, kita harus ngawasin Rangga. Mungkin, orangtua gue bakal ngasih tongkat sihir kalau laporan gue udah sampai masalah Rangga."

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now