xiii. saya terancam senasib dengan raflesia arnoldi

14.5K 2.5K 457
                                    

Sekarang sudah lewat beberapa minggu sejak insiden Toara, Senter, dan Rangga. Dan sejak saat itu, belum ada kemajuan lagi soal Rangga. Rangga belum mau ngaku, walaupun makin lama (menurut saya dan Fia), Rangga makin mencurigakan.

Toara sendiri kayaknya udah nyaris lupa sama insiden itu. Kalau nanya ke teman-teman saya yang lain, mereka juga pasti udah enggak terlalu inget.

Saya pernah coba-coba nanya ke Nabila soal kejadian itu, dan dia jawab, "Lo ngomong apa, sih? Justin Bieber teriak-teriak?"

Saya juga pernah, coba tanya sama Dinda. Dia cuma diem aja.

Ini membuat saya merasa lebih baik.

Sekarang, fokus saya dan teman-teman saya sudah berpindah ke berbagai macam ujian. Belakangan ini, saya dan teman-teman saya sibuk ujian praktek, ujian sekolah, dan try out.

Guru-guru juga setiap hari kerjaannya ceramah soal betapa kita harus berusaha keras, mengindari KJ (Kunji Jawaban), dan mengerjakan soal dengan jujur. Seperti saat ini. Bu Retno lagi asyik mondar-mandir di depan kelas sambil mengetuk-ngetukkan penggaris kayu ke lantai.

"Ibu benar-benar kecewa dengan hasil try out kalian kemarin," kata Bu Retno. "Kalau UN nanti hasil kalian kayak gitu, enggak ada yang bisa masuk SMA 999."

SMAN 999 adalah SMA negeri yang menjadi incaran nyaris semua anak di daerah tempat tinggal saya. Sekolahnya bagus, favorit, unggulan, harmonis, tenang, damai, dan sejahtera. Tapi, passing grade-nya tinggi banget. Saya enggak ngerti lagi sama anak-anak yang bisa masuk situ. Anak paling bodoh di sekolah itu aja, kayaknya tetep bisa ngerjain soal olimpiade kayak ibu-ibu ngisi kuis di majalah.

Mama sama Papa belakangan ini, juga mulai nyuruh saya buat masuk SMAN 999. Kalau kamu udah kenal sama Mama dan Papa, kamu pasti tahu alasan Mama dan Papa saya beda sama alasan orangtua lain.

Alasan mereka pengen saya masuk SMAN 999 adalah, "Di sana banyak penyihirnya," kata Papa.

Kata Mama, "Penyihirnya juga yang keren-keren. Anak temen-temen Mama pada sekolah di situ."

Bu Retno masih mondar-mandir di depan kelas. "Ibu harap, enggak ada di antara kalian yang beli KJ. KJ itu merusak nama baik sekolah. Kaliannya sih, enggak peduli. Tapi kasihan sama adek-adek kelas kalian nanti. Kalau kakak kelasnya enggak bener kayak kalian, adek-adek kelas kalian yang susah."

Saya bisa mendengar beberapa teman saya berbisik-bisik. Beberapa teman saya memang sudah ada yang beli KJ. Bandarnya anak dari IX-5. Saya sendiri enggak tertarik beli KJ. Bukannya mau sok suci atau apa, tapi KJ itu juga enggak seratus persen bener. Lagi pula, mendingan uang saya ditabung buat nyusul Grant Gustin ke negaranya daripada buat beli KJ.

Saya capek LDR-an mulu sama doi.

"Lo beli KJ, Sa?" tanya Fia sambil menyenggol bahu saya.

Saya menggeleng. "Lo?"

Fia tampak sedang berpikir. "Palingan iya. Lo mah enak, Sa. Udah pinter, bisa sihir lagi. Kan kalau bingung, lo bisa coba-coba sihir gitu. Gue kan, enggak bisa."

Fia emang belum dapat tongkat sihir dari orangtuanya. Menurut orangtua Fia, Fia kurang berkontribusi dalam masalah sihir. Makanya, Fia sekarang masih terus ngawasin Rangga--walaupun udah enggak sesering dulu. Sekarang, ada masalah-masalah lain yang harus diawasin lebih sering.

Masalah lain itu adalah: ujian, ujian, dan ujian.

Saya mengangkat bahu. "Tapi, gue enggak berniat pakai sihir waktu ujian nanti. Gue aja berniat mau ninggalin senter gue di rumah," kata saya. "Lo serius mau pakai KJ? Sayang lagi, Fi. Nilai lo, nilai seumur hidup, lho. Masa enggak mau pakai kemampuan otak lo sendiri? Lo enggak butuh sihir atau apa biar sukses, lo bisa belajar dan berusaha," kata saya, seketika merasa seperti Arsa Teguh.

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now