xv. faktor dari umur kamu bisa menunjukkan jejak kaki orang lain

15K 2.7K 559
                                    

Hari ini hari Sabtu, dan saya berencana pergi ke rumah Rangga untuk berguru sama mbak dan supirnya dia.

Tadi waktu saya izin pas sarapan, Papa nanya, "Kamu mau ngapain ke rumahnya Rangga? Kerja kelompok? Kan udah UN."

Saya menjawab, "Mau main-main aja. Yang ikut hampir sekelas, kok."

Tolong dicatat ya, saya bukan anak yang suka berbohong kepada orangtua. Saya cuma anak yang suka melakukan tindakan preventif.

Kan kalau saya bilang  saya mau belajar sihir, Papa pasti enggak setuju. Papa itu berpegang  teguh sama paduan dari BPP (ya, kayak Bu Indah berpegang teguh sama  KBBI).

Dan bukannya saya  berniat untuk memberi tahu soal ini kepada seluruh masyarakat Indonesia  dari Sabang sampai Merauke. Enggak. Yang tahu soal ini cuma saya,  Rangga, sama mbak dan supirnya Rangga.

Waktu itu, setelah saya  berbicara dengan Rangga, Fia bertanya apa yang saya bicarakan dengan  Rangga. Dan saya bilang, "Rangga bukan penyihir, gue yakin itu."

Dan cuma itu.

Selebihnya, saya  bersikap normal aja. Besoknya, saya malah jalan-jalan sama Fia, Kania,  Toara, Nabila, dan Manda. Saya berusaha bersikap biasa-biasa aja.  Padahal, saya pengen banget, waktu kami nonton bioksop, saya sihir popcorn saya biar menyerang Fia.

Tapi enggak. Gengsi dong, kalau saya bales perlakuan Fia cuma dengan popcorn. Jadi saya putuskan untuk membuat rencana yang rapi dulu.

Gawatnya, kadang, saya merasa Fia enggak salah apa-apa. Saya merasa, mungkin saya terlalu percaya sama Rangga.

Tapi, saya teringat bintik-bintik hijau di pisang Rangga.

Dan oke, saya akui, saya coba minum jus tomat campur kecap, terus saya lihat, senter saya berpendar. Dan... case handphone Fia juga berpendar.

Waktu saya coba di rumah (untuk menguatkan bukti), saya melihat sumpit Sara dan pulpen Papa juga berpendar.

Artinya, Fia emang udah  bohong sama saya. Dia udah punya tongkat sihir, tapi dia ngakunya belum  punya dan harus ngelakuin syarat aneh buat dapet tongkat sihir.

Saya juga enggak ngerti, kenapa dia ngelakuin itu.

Pokoknya dia bohong. Titik.

Mengingat kenyataan  bahwa Fia sudah berbohong, membuat saya semakin bersemangat. Sekarang,  saya sudah berdiri di depan rumah Rangga.

Saya menekan bel. Beberapa saat kemudian, pintu rumah dibuka oleh Rangga.

"Eh, Arsa," katanya. "Lo ngapain di sini?"

Saya menyilangkan lengan  di depan dada. Saya tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Rangga. UN  sih, emang udah lewat. Tapi kan, bukan berarti dia jadi bolot maksimal.

Masalahnya, beberapa  detik yang lalu, Rangga baru aja mengirimi saya pesan di LINE. Dia  mengingatkan saya, bahwa saya sudah berjanji untuk datang ke rumahnya.

Beberapa saat kemudian, Rangga menepuk dahinya. "Oh, iya, ya. Ayo masuk dulu. Mbak gue lagi nyuci piring."

Saya melangkah memasuki  rumah Rangga. Rangga menutup pintu di belakang saya, kemudian dia  berkata, "Ke dapur aja, yuk. Mbak ada di sana."

Saya mengangkat bahu. "Oke."

Kami pun melangkah menuju dapur. Di dapur, ada seorang wanita paruh baya, yang sedang sibuk mencuci piring.

"Mbak, ini Arsa," kata Rangga begitu kami memasuki dapur.

Wanita itu menoleh lalu  menatap saya. Dia tersenyum lalu berkata, "Halo, Arsa. Rangga udah  cerita soal kamu. Katanya kamu mau belajar sama Mbak, ya?"

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now