#3 Gayaku

784 41 2
                                    

Deva merupakan salah satu orang dan satu-satunya yang pernah berusaha membuatku berbaur dengan orang lain.

Berbeda denganku, Deva sangat mudah akrab dengan siapa saja, laki-laki dan perempuan. Keberadaannya seperti medan magnet yang menarik siapapun ingin berada di dekatnya.

Kurasa itulah yang membuatku ingin berada di sampingnya.

Deva selalu berlaku adil dengan semua teman-temannya, denganku ataupun dengan teman yang lainnya.

Tidak pilih kasih, baik, dermawan, perhatian, supel. Sifat-sifat yang tidak pernah akan menjadi milikku yang pendiam, penyendiri, sulit berbaur.

Awalnya Deva membantuku untuk ikut dengannya kemanapun ia pergi, seperti ketika ia akan bermain sepak bola dengan teman-temannya, Deva menarikku untuk ikut dengannya.

Ketika ada acara kelas, Deva mengajakku. Ketika ia sedang bermain dengan teman-temannya yang banyak itu, dia mengajakku. Rasanya Deva selalu ingin agar aku dikelilingi banyak orang seperti dirinya.

Aku melakukan hal yang seharusnya agar menghargai Deva yang sudah membantuku untuk berbaur, seperti ikut berbicara ataupun tertawa ataupun tersenyum. Tapi itu tidak pernah berlangsung lama.

Ada dua hal yang menghentikan pertemananku. Mereka tidak menyukaiku, atau aku tidak tahan dengan mereka.

Tidak ada yang tulus dari orang-orang yang berteman denganku, dan aku selalu bisa merasakannya hingga terasa risih.

Aku selalu bisa mendengar mereka berbisik tentangku di belakang meskipun selalu tersenyum seolah bisa menerima di depanku.

Kemudian hal lainnya yang aku sadari, aku hanya bisa sendiri, atau dengan Deva. Deva adalah satu-satunya orang di sampingku yang tulus denganku.

Sayangnya Deva sulit untuk menyerah. Dia keras kepala.

Dia tetap mengajakku ke sekitar teman-temannya, hingga aku berhenti untuk berpura-pura dan mulai kembali menjadi diriku sendiri. Pendiam dan apatis.

Tapi anehnya ketika aku berusaha menjadi diriku sendiri, aku bisa melihat siapa yang ingin berteman denganku dan siapa yang tidak ingin. Prosentasenya hampir 100% tidak ada yang ingin berteman denganku.

Suatu hari aku mendapati Deva mengkritik sikapku yang terlalu sinis untuk ukuran anak SD kelas 5. Katanya aku pendiam, tapi setiap buka mulut selalu bikin orang lain tidak bisa menjawab karena kata-kataku terdengar kejam.

"Kata-kata kayak gitu harusnya nggak diucapin, Denada. Itu kejam."

"Aku nggak kejam..." kataku berusaha berkilah.

"Kamu nggak kejam, iya, tapi kata-katamu itu bikin orang sakit hati..."

Aku melotot ke arah Deva, tidak suka dengan caranya mengkritik sifatku yang apa adanya.

"Sinta itu bohong Deva, kemarin dia bilang ke aku kalau dia nggak suka temenan sama aku, tapi tadi dia bilang suka temenan sama aku. Aku cuma bilang kalo dia plinplan, dan pembohong, dan muka dua. Emang salah?"

Deva memegang pundakku dan menghembuskan nafasnya sambil menggelengkan kepala. "Entahlah, Denada, kadang aku nggak ngerti kamu mikirin apa."

Sedangkan aku jengkel karena Deva tidak mengerti. 

"Mereka semua yang temenan sama aku itu pakai topeng, Deva, mereka nggak ada yang tulus. Dan aku udah capek ngikutin permainan mereka yang seolah-olah menikmati kebersamaan."

"Apa maksud kamu? Mereka kan mau temenan sama kita kan? Mereka selalu ada kalo kita butuh temen kan?"

Waktu kecil dulu Deva masih meraba-raba sifatku yang terkadang terlalu berfikir dan melampaui usiaku, dia jarang mengerti kata-kataku.

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang