#4.1

582 42 0
                                    


Aku baru saja selesai menyuapkan satu sendok makan ke balik masker ketika tiba-tiba seseorang melepaskan maskerku dengan gesit dari belakang. 

Aku berkedip selama beberapa kali, meredakan degup jantungku yang tiba-tiba semakin cepat ketika aku tahu siapa yang melakukannya. 

Lagipula, baru kali ini Deva kembali menyapaku setelah kejadian kemarin. Ditambah aku belum berhasil mengartikan kenapa aku terpesona padanya tadi pagi.

"Gue udah tebak ada yang nggak beres sama lo," katanya dari belakangku.

Setelah mematung selama beberapa saat, membiarkan suara Deva merembet ke telingaku, akhirnya aku bisa bernafas dengan normal.

Menyadari ini Deva yang biasa, jantungku juga kembali ke ritme semula.

"Setau gue kan lo bukan anak yang gampang sakit." 

Kujawab omelannya dengan cengiran masam, melihat Deva yang mulai mengitari meja untuk duduk di depanku dan meletakkan nampan makanannya.

"Nggak usah nyengar-nyengir gitu, gue lagi marah."

Aku berhenti tersenyum, dan mulai menyendokkan makananku, berusaha menghindar dari tatapan Deva yang mengintimidasi.

"Jawab gue, lo dipukul kan sama Rian?"

Setelah berfikir selama beberapa saat, akhirnya kuputuskan untuk jujur.

"Well, sebenernya karena gue bales mukul dia."

Deva tertawa hambar dan menyandarkan tubuhnya di kursi.

 Aku tahu dia marah, Deva selalu marah setiap kali melihatku seperti ini. 

Deva menganggukkan kepalanya berulang kali sambil memandangku seolah aku sudah gila. "Berarti harus gue yang bales mukul dia."

Dasar Deva.

Kebiasaan.

Tapi tetap saja aku bertanya. "Kenapa?"

Deva mengangkat bahunya acuh "Biar setimpal."

"Deva, kita udah janji nggak bakal ngurusin..."

"Lo yang bikin janji itu, Denada, bukan gue." Ia terdiam beberapa saat, mencoba meredam emosinya. Aku tahu. Aku hafal "Dan gue nggak pernah suka sama janji yang lo buat itu."

"Tapi kan lo udah setuju."

"Karena lo janji nggak bakal terluka lagi. Lo pikir gue nggak tau apa yang dilakuin Rian sama lo? Kemarin lo ke UKS karena telinga lo robek kan? Rian narik anting lo kan? Gue nggak tau apa yang bakal dia lakuin kalo gue nggak ngelempar dia pake bola basket."

Aku tersenyum senang mendengarnya "That's really you! Cukup heroik." Kemudian aku kembali menyuapkan nasi ke mulutku.

Setelah membiarkan makannya cukup lama terabaikan, akhirnya Deva ikut memakan makanannya sepertiku, tapi tetap menggerutu "Gue nggak ngelakuin itu bukan buat dapet pujian. Dan itu jelas kurang kenceng."

"Iya, iya, Deva... gue minta maaf." Aku berhenti tersenyum dan memberanikan diri memandangnya "Gue udah putus kok sama Rian, gue sadar dia psikopat."

"Dan lo nggak pernah belajar untuk pacaran dengan orang yang benar. Tapi baguslah lo putus sama dia."

"Said it to yourself. Mantan lo juga agak gila kan?"

Deva memandangku lama sekali, sebelum akhirnya aku mendengar tawa renyahnya yang selalu berhasil menulariku untuk ikut tertawa.

"Sialan. Lo nggak boleh ngelakuin itu sering-sering."

"Ngelakuin apa?"

"Bikin orang nggak jadi marah."

Aku menghembuskan nafas "Yah, harusnya lo emang nggak usah marah. Kuping gue udah panas dimarahin mama semalaman. Padahal gue udah bilang kejedot tiang."

Deva tersenyum lagi "Lo kalo mau terus-terusan kayak gini, lo juga harus belajar untuk bikin alasan yang lebih logis lagi."

"Gue bakal mikirin caranya."

Deva lagi-lagi berhenti makan, memandangiku lama, dan kelembutan di matanya yang jernih itu mendadak  membuat darahku berdesir ringan. 

Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. 

Deva memperhatikan bibirku lama sekali sebelum akhirnya bersuara "Itu sakit kan? Mau gue beliin es batu? Biar bengkaknya berkurang?"

Lalu perhatian Deva, yang tidak pernah terkalahkan.

Aku menggeleng.

"Gue udah mati rasa. Lo harus belajar buat ngerti, Deva, kalo keseringan kena tonjok bisa bikin lo kebal."

Deva menutup matanya, kemudian mengapit hidung bagian atas dengan jarinya "Please, jangan ngomong kayak gitu lagi."

Karena tidak mau melihat Deva tersiksa karena perilakuku, akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan topik tersebut.

"Tapi kenapa lo tau telinga gue robek? Seriusan, gue yakin lukanya nggak kelihatan."

"Gue ke UKS, nanya bu Ratna, dan taraaa... gue dapet catatan apa aja yang bikin lo ke UKS sampe-sampe udah hampir cukup buat ngeluarin lo dari sekolah."

Aku menggigit bibirku, menyadari kalau kebiasaanku terlalu ugal-ugalan. "Tapi gue nggak akan dikeluarin kan?"

"Selama lo bisa buktiin dalam waktu beberapa bulan ke depan lo nggak bakalan terluka lagi dan masuk UKS."

Aku terdiam beberapa saat untuk memikirkan kalimat tersebut. 

Tapi kemudian aku mendadak aku teringat ideku. Tubuhku kembali tegap, aku tersenyum.

"Ah, sebenarnya mulai besok gue mau nyiapin P3K sendiri jadi nggak perlu ke UKS lagi."

Tiba-tiba Deva tersedak makanannya. 

Aku segera menyodorkannya minuman sebelum ia memuntahkan semua isi makanannya. "Lo... lo gila ya?"

"This is not crazy, this is a good idea!" bantahku.

Kemudian aku melihat Deva meletakkan kepalanya di atas meja dan menjambak rambutnya frustasi. "Gue nggak tau kenapa punya temen yang niat banget dipukulin, gue nggak tau kenapa lo nggak bisa punya temen padahal nggak ada yang salah sama lo, dan gue nggak tau kenapa lo selalu pacaran sama orang nggak bener. Apa yang harus gue lakuin, Denada?"

Aku tersenyum melihat Deva. Deva lucu ketika ia sedang frustasi seperti ini. Ia terlihat berbeda dengan laki-laki dingin yang kemarin aku lihat di tempat parkir. 

Saat ini yang ada di depanku adalah Deva yang biasanya, yang selalu siap menjadi tamengku. Itu saja membuatku senang. Aku mengulurkan tangan dan merapihkan rambutnya yang baru saja diacak-acak olehnya, kepalanya masih tertunduk tanpa melihatku.

"Lo nggak perlu ngelakuin apa-apa, Deva. I'm happy with the way you still here with me. And that's enough."

Selalu cukup selama aku tahu Deva berada disisiku. Lucu bagaimana pemikiran tersebut menghangatkan hatiku.

***

Pasangan bukan Pacar [Complete]Where stories live. Discover now