#10.3

357 26 0
                                    


Aku membenci perasaanku saat ini.

Membuatku seolah tertahan untuk tidak memikirkan hal lain. Jadi aku memutuskan untuk melakukan apa yang kuanggap benar.

Aku akan bicara dengan Deva, langsung, tanpa perlu ada siapapun yang mengganggu. Akan kutegaskan maksudku, dan akan kudengar penjelasannya.

Aku terus duduk di depan teras hingga mendengar suara mobil Deva datang dan berdiri, memastikan tidak ada siapapun yang sedang duduk di kursi penumpang mobil Deva. Karena jika masih mengikuti perjanjian kami, itu artinya aku tidak bisa mengusik Deva sama sekali kalau ia membawa pacarnya.

Syukurlah Deva sendirian ketika aku melihat sekilas ke jendela mobilnya yang lewat di depan rumahku. Aku langsung turun dari undakan teras rumahku, membuka gerbang dan melangkah ke samping rumah.

Aku bahkan membantu membukakan gerbang rumah Deva sebelum ia turun untuk membukanya sendiri.

Deva mengangkat alisnya ketika aku melakukan hal tersebut, tapi tidak berkomentar apapun dan terus melajukan mobilnya masuk ke parkiran rumahnya.

Aku terus menunggu dengan sabar hingga ia mematikan mobilnya dan akhirnya turun dari mobil. Tapi bukannya menengok ke arahku dan menanyakan maksudku, atau sekadar menawarkanku untuk masuk ke rumahnya, ia malah dengan cueknya berjalan ke arah teras rumahnya.

Dengan apa yang terjadi seharian ini, jangan salahkan kalau sekarang aku merasa sangat jengkel dengan sikapnya. Aku melangkah lebih cepat, nyaris berlari dan menghadangnya tepat di depan matanya. Kali ini aku tidak menutup-nutupi perasaan jengkelku.

"Kamu kenapa sih? Marah?"

Deva memandangku lama, sebelum mendengus kesal. Itu membuat kejengkelanku agak berkurang, setidaknya kali ini dia tidak dingin dan tidak cuek padaku.

"Lo kenapa sih, Nad?"

What? Nad? Baru kali ini, sungguh, Deva tidak memanggilku Denada seperti biasa.

Itu membuatku nyaris limbung. Deva benar-benar aneh.

"Aku mau ngomong sesuatu."

Deva mengedarkan pandangan ke seluruh bagian kompleks yang terjangkau oleh matanya, kemudian beralih lagi padaku.

"Gini, Nad, lo tau status gue sekarang sedang pacaran? Dan lo sendiri yang bikin janji tentang jangan ikut campur urusan salah satu dari kita kalo ada yang lagi punya pacar. Dan lo sekarang disini dan bisa bikin pacar gue salah paham."

Aku nyaris terlonjak ketika mendengar bagaimana Deva menekankan kata pacar tersebut. Apakah pacarnya kali ini benar-benar berharga sehingga aku tidak bisa meminta waktunya sebentar saja?

Tiba-tiba aku merasa gugup dengan tujuan kedatanganku dan apa yang mau kubicarakan. Mendadak Deva menjadi begitu patuh dengan janji kami, dan itu membuatku setengah mati ketakutan.

Deva mendengus lagi. "Jadi lo mau ngomong apa?"

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Hal yang paling kutakutkan dari Deva adalah ketika ia marah. Karena Deva nyaris tidak pernah benar-benar marah padaku, dan nadanya yang pendek-pendek itu membuatku takut.

Aku berdeham. "Kita nggak masuk dulu?"

"Nggak usah. Disini aja. Gue nggak mau ada orang salah paham."

Aku menghitung dalam hati sampai 10 kemudian memberanikan menatap mata Deva dan bicara. "Tentang janji kita dulu. Tentang nggak usah ikut campur urusan masing-masing kalo lagi punya pacar..." Aku menarik nafas panjang "Boleh nggak dibatalin aja?"

Deva menyipitkan matanya dan dahinya berkerut. "Kenapa?" tanyanya sinis.

"Lo tau kan, gue nggak punya banyak temen di sekolah, di rumah, dimanapun. Lo juga tau gue cuma temenan sama lo selama ini? Jadi kalo lo cuek kayak di sekolah tadi... gue jadi bener-bener nggak punya temen."

Selesai aku mengatakannya dan menatap mata Deva, aku langsung reflek mundur. Aku melihat Deva menatapku sangat tajam, melototiku, dan bahkan aku bisa melihat wajahnya memerah, karena marah.

"Setelah selama ini..." Deva tertawa getir "Lo egois ya! Gue nggak pernah janjiin hal semacam itu ke lo tapi lo tetep keras kepala sampe gue terpaksa nepatin! Gue, Nad, gue yang dulu ada diposisi lo, dan baru sekali ini lo ngerasain ada di posisi gue dan lo ngeluh! Lo harus coba gimana rasanya ngelihat sahabat lo yang deket dan kemana-mana sama lo, yang terbiasa ikut campur sampe rasanya gatel kalo nggak ikut campur, lo paksa buat menyingkir dengan alasan seolah-olah ini demi kebaikan kita! Karena itu lo, Nad, gue lakuin." Deva menghembuskan nafas pendek-pendek, seolah ia mengucapkan kalimat itu tanpa bernafas, dan ia menarik nafas lagi bahkan ketika aku sedang berusaha mencerna semua kata-katanya. Mataku membelalak mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Sekarang lo minta kita batalin itu, karena lo nggak bisa liat gue lebih dulu punya pacar? Gitu?"

Aku menggelengkan kepala secepat mungkin, berusaha mengembalikan keadaan sebelum berantakan. "Tapi situasinya beda kan, Deva! Lo punya temen! Lo bisa kemanapun lo mau walaupun gue nggak ada di samping lo! Tapi kalo gue nggak punya pacar, dan lo sibuk dengan pacar lo, gue nggak punya siapa-siapa untuk didatengin..."

Deva terdiam mendengar ucapanku. Entah itu maksudnya ia akhirnya mengerti maksudku, atau itu karena ia sedang berusaha mengendalikan emosinya. Aku hanya melihat ia menghembuskan nafasnya pelan, sangat pelan sampai tubuhnya bergetar.

"Ternyata lo nggak pernah bener-bener tau tentang gue, Nad. Dan maaf, gue nggak bisa lo datengin cuma karena lo lagi butuh."

Tanpa mempedulikan ekspresiku yang sedang terperangah, Deva berjalan melewatiku begitu saja. Aku yang masih kaget dengan perkataannya hanya berdiri mematung, bahkan waktu Deva membuka kunci rumahnya.

Aku mendengar Deva membuka pintu, tapi kemudian berhenti.

"Dan lo harus belajar untuk jujur sama perasaan lo. Gue tau lo cemburu karena gue punya pacar, lo ngerasa gue lebih mentingin pacar gue daripada lo, dan gue harap lo tau cara nyampein itu dengan cara lain."

Aku yang merasa tiba-tiba marah, langsung berbalik menghadap Deva. Ternyata ia tidak memandang ke arahku, melainkan ke arah ganggang pintu yang dipegangnya, tapi Deva tetap melanjutkan. "Seharusnya gue sekarang nggak usah khawatir, karena kelihatannya lo bisa jaga diri."

Kata-kata itu akhirnya membuat emosiku meledak, dan aku maju selangkah ke arahnya. Astaga, yang benar saja! Aku tidak bisa membaca pikiran Deva!

"Jadi lo lebih milih liat gue babak belur, gitu?"

Jawaban yang Deva berikan hanya menoleh ke arahku sambil melotot, kemudian seolah sedang benar-benar berdebat apakah ia akan memukulku atau berteriak padaku, akhirnya Deva masuk ke dalam rumah dan membanting pintu rumahnya tanpa menjawab pertanyaanku.

***

Pasangan bukan Pacar [Complete]Where stories live. Discover now