#7.1

394 33 0
                                    

Aku membuka mata dan melihat sekeliling. Deva sedang bersandar di bawah pada sofa yang tengah kutiduri sambil menonton TV. Ah, kelihatannya aku baru saja bermimpi tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Kenapa mimpi itu muncul? Padahal aku sudah lama tidak mengingatnya, dan sekarang ingatan tersebut kembali menghantamku dan melihat dimana dan dengan siapa aku sekarang memperkuat kesadaran tersebut.

Bahwa setelah beberapa tahun kami bersama, aku hanya bisa merasa tenang ketika bersama dengan Deva.

Kuperhatikan laki-laki yang tengah sibuk memakan cemilan sambil fokus menonton layar televisi di depannya. Begitu fokus, begitu kuat, dan aman. Kenapa tidak kusadarii selama ini bahwa hanya akan ada Deva sekarang, mungkin selamanya. Aku merasa aku salah menyimpulkan selama ini, bahwa akan ada laki-laki di luar sana yang lebih mampu dari Deva untuk membuatku aman.

Lagi-lagi aku merasakan perasaan hangat yang membuatku ingin menangis dan memeluk laki-laki yang telah menjagaku selama bertahun-tahun ini. Ia seperti seorang kakak, sahabat, teman, keluarga, dan ayah untukku. Ia tahu semua keburukanku, dan ia tetap menerimaku apa adanya. Ia tetap disampingku, menjagaku walaupun kami bahkan tidak memiliki hubungan darah.

Apa yang begitu baik  sehingga ia mau melakukan semua ini untukku?

Apa yang membuatnya tidak pernah mengeluh dan selalu bertahan bersamaku? Padahal mengingat apa yang sering kulakukan padanya, aku hanyalah sebuah kerikil batu yang bisa disingkirkan begitu saja. Tapi Deva tidak pernah melakukannya. Ia membiarkanku menerobos masuk ke kehidupannya, membuat keputusan-keputasan, dan membiarkan dirinya menjadi tameng kenyamanan untukku.

Jantungku melonjak ketika Deva menoleh ke arahku seolah menyadari aku telah terbangun. "Hai."

Aku mematung ketika melihatnya tersenyum padaku. Senyum yang lembut dan bersahabat.

"Lo mau minum? Mau makan sesuatu?" tawar Deva ketika aku memutuskan untuk duduk di sofa pada akhirnya. Tidak benar-benar menghiraukan pertanyaannya, aku menanyakan hal yang lain.

"Udah berapa lama aku tidur?"

Deva tidak menjawab pertanyaanku, hanya menatapku lekat seolah aku mengatakan hal yang aneh padanya.

"Kenapa, Deva? Aku aneh ya kalo bangun tidur?"

Apa pula pertanyaanku ini? Deva kan sudah tidak terhitung berapa kali melihatku tidur. Lalu kenapa aku kini mempertanyakan penampilan bangun tidurku?

Setelah terdiam beberapa lama, Deva tersenyum begitu lebar bahkan aku nyaris mendengarnya tertawa. Kemudian ia berdeham.

"Nggak, kamu nggak aneh kok. Kalo boleh jujur, sebenernya kamu paling cantik kalo bangun tidur, makannya aku nggak keberatan kamu mau tidur berapa lama di rumahku."

Mendadak aku merasa sesuatu menyengat seluruh tubuhku. Rasanya aku nyaris bergetar ketika mendengar Deva bicara padaku dengan gaya yang begitu familiar dan mengingatkanku pada masa lalu.

Kamu

Kamu

Kamu

Astaga, aku duluan yang merubah gaya bicara kami, dan bagaimana Deva akhirnya mengikutiku membuatku merasa aneh. Jantungku berdebar dengan sangat cepat, aku bahkan takut bisa mendengar debar jantungku ini.

Sudah terlalu lama Deva tidak bicara padaku dengan cara itu, sehingga rasanya ada keterikatan di ruangan ini yang membuatku merasa menjadi sangat dekat dengan Deva ketika ia kembali mengubah cara bicaranya yang lebih akrab. Rasanya... jadi lebih intim ketika ia mengatakannya.

Gawat.

Aku merasa aneh. Tubuhku terasa aneh. Aku merasa darahku mengalir begitu cepat, aku bahkan merasa wajahku mulai merona.

Kemudian tangan Deva membelai pipiku, dan aku berjengit ketika measakan tangannya yang kuat dan besar membelaiku dengan sangat lembut.

"Hei, kamu kenapa? Mukamu merah, Denada."

Aku bisa melihat kekhawatiran di wajah Deva, lalu aku menyadari bahwa mungkin aku sudah diam terlalu lama tanpa merespon sama sekali. Aku berusaha mengendalikan diriku yang sedang tidak seperti biasanya. Ingin meraup lebih banyak sentuhan dari Deva.

Aku bahkan tidak terlalu peduli kalau jantungku berdegup dengan sangat keras, karena ketika aku melihat kedalaman tatapannya, aku merasa ingin terus memandang mata itu.

"Nggak.." Akhirnya aku mencoba untuk membuka suara "Nggak, aku nggak apa, Deva. Ini... aku cuma habis mimpi..."

Deva mengerutkan dahinya "Mimpi apa? Mimpi buruk?"

Aku benar-benar tidak tahu kenapa sejak aku bangun tidur, aku merasa menjadi orang lain, tidak seperti diriku untuk menjadi begitu melankolis.

Aku turun dari sofa dan duduk di karpet di samping Deva. Deva terus mengikuti gerakanku seolah ingin membaca apa yang tengah berkecamuk di kepalaku saat ini. Aku menarik nafas dalam, kemudian kembali menatap matanya dengan sungguh-sungguh.

"Deva... aku boleh minta sesuatu?"

Deva mengangkat alisnya, bertanya tanpa berkata-kata. Tapi aku tidak akan mengatakan apa permintaanku sampai Deva mengatakan bahwa ia mengizinkanku untuk egois saat ini.

Mengerti bahwa aku tidak akan mengatakannya, Deva akhirnya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Entah kenapa aku ngerasa bakalan senang sama permintaanmu. So, just say it."

Aku menelan ludah.

Setelah kuingat-ingat, Deva memang tidak pernah lagi melakukan ini semenjak kami beranjak dewasa. Ia melakukannya terakhir kali ketika kami masih menjadi anak kecil, ketika baru saja beranjak remaja. Aku... aku hanya merindukannya.

Kemudian tanpa lebih banyak berfikir, aku bergerak, dan menghambur padanya. Kulingkarkan lengganku di sekeliling lehernya, dan kupeluk laki-laki yang sudah bersamaku selama lebih dari satu dekade ini.

Aku memeluknya erat dan menghirup aroma Deva yang selama ini kulupakan, dan bahkan mungkin sudah berubah. Tubuh yang hangat, dan nyaman, seperti rumah. Tetapi terasa berbeda, tubuh Deva lebih besar, lebih padat, lebih kuat. Sejak kapan Deva menjadi sebesar ini? Tapi tetap saja, kontur tubuhnya justru membuatku jauh lebih nyaman berada di pelukannya. Andai Deva bisa lebih sering melakukannya, rasanya aku akan lebih berani menghadapi segalanya.

Tak lama Deva hanya menerima pelukanku, kemudian aku merasakan tangannya membalas pelukanku di punggungku, kemudian aku juga merasakan wajahnya tenggelam dilekuk leherku seolah ingin menghirupnya dalam-dalam.

Dan aku merasakannya ketika Deva membalas pelukanku.

Bahwa tidak hanya sekadar nyaman, dan hangat yang kurasakan. Deva memelukku seolah ingin meleburkan diri bersamaku, dan perasaan yang ditimbulkan amat sangat berbeda dengan pelukan kami yang sudah-sudah.

Ya Tuhan.

Jantungku berdetak keras, perutku terasa terisi ribuan kupu-kupu, dan suhu tubuhku dicampur suhu tubuh Deva mendadak menjadi panas. Tapi satu-satunya yang ingin kulakukan adalah membiarkan Deva membenamkan wajahnya di leherku.

Andai aku tahu apa maksudnya ini.

***

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang