01. Naida

106K 5K 37
                                    

Jari ini melingkar sebuah cincin emas dua puluh empat karat yang dipasangkan satu tahun lalu. Aku memandangnya dengan genangan cairan bening di pelupuk mata. Ini lebih dari berhasil. Karena dulu, saat ia memasangkannya mataku sudah tidak bisa menahan bendungan air itu. Polesan wajahku yang sudah sempurna sedemikian rupa, membuatnya luntur seketika. Matanya yang membelalak melihatku dalam keadaanku seperti itu, sangat membuat hatiku teriris.

Kalimat sakral yang seharusnya diambil dalam satu tarikan nafas, justru harus diulangnya dalam dua kali. Bahkan, saat itu aku sangat berharap, ia melakukan kesalahan ketiga kalinya dan membuat ijab kabul itu batal. Tapi, melihat rahangnya yang tiba-tiba mengeras, dengan sekali tarikan nafas dia berhasil mengucapkannya.

"Saya terima nikahnya Naida Anhar Binti Miftahul Anhar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Lalu, semuanya berteriak sah dan mengucapkan kalimat hamdallah. Sorak helaan nafas kebahagiaan terdengar dibelakangku. Lantas, penghulu mengangkat tangannya untuk memanjatkan do'a demi pernikahan kami. Selama do'a itulah, air mataku mengalir kembali. Dia yang tadi mengucap ijab itu, meremas pelan tanganku yang tidak ikut diangkat. Itu membuatku tersontak, lalu aku sadar kalau dibalik remasan tangan itu, tersembunyi kemarahan yang besar dalam lubuk hatinya.

Tanpa sadar, tanganku terulur di depannya untuk dipasangkan sebuah cincin. Dengan gemetaran, aku menyerahkannya. Dia memasangkannya dengan sangat cepat. Bahkan tanpa ada adegan dramatis mencium lembut kening walau sesaat. Yang aku dapatkan, hanya sekilas sentuhan bibir yang tidak sepenuhnya menempel di kening dan kemudian dilepaskan dengan sangat cepat. Lebih cepat dibanding saat ia memasangkan cincin tadi. Dapat aku rasakan ciuman dinginnya. Ciuman terpaksa darinya. Aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu berharap dengan pernikahan ini.

Setelahnya, aku memasangkan dengan lembut pasangan cincin lainnya di jari manis orang yang menjadi suamiku saat ini. Dia terlihat enggan untuk menawarkan jemarinya. Namun, aku bisa menghapusnya dengan elusan lembut di punggung tangannya sebelum cincin itu melingkar manis di jari manis kanannya. Satu tetes air mata menetes saat aku mengecup punggung tangannya. Tanda bakti seorang istri. Itupun kalau ia menganggapku seperti itu. Dari balik bulu mataku, aku dapat melihat kilatan yang membuatnya jijik dengan air mata dan kecupan bibirku di punggung tangannya.

Semua orang bertepuk tangan dengan meriahnya saat sesi pemasangan cincin selesai. Helaan nafas terdengar dari lelaki di sampingku. Sebelah tangannya terasa antara bersedia dan tidak saat memeluk pinggangku. Aku pun hanya diam mematung saat dia mengucapkan kalimat jahanam itu.

"Jadilah aktris yang baik pada hari ini, Sayang." Senyum kecutnya terulas di sana lalu disusul remasan pelan yang ia berikan.

Aku memandangnya sejenak. Memperhatikan rahangnya yang terangkat karena memasang sebuah senyuman ke para undangan yang bergantian menyalami kami.

"Congrats, Man. Akhirnya lo nyusul gue juga." Salah satu teman lelakinya menepuk pelan punggungnya dan memberi salam yang aku kira itu salam persahabatan mereka. Perempuan di sampingnya, menyalamiku. Memelukku erat dan menyatukan pipi kanan dan kiri. Diselaan salamannya, ia berbisik semoga kami menjadi pasangan yang langgeng. Aku hanya bisa mengamini dan menampilkan senyuman palsu yang bahkan sampai saat ini masih bisa aku munculkan.

Kalau saja ada orang yang mengerti gerak tubuhku, dia bisa memandang mataku. Tenggelam dalam kegelisahan dan kesedihan yang tertutupi senyuman pahit. Andaikan ada orang itu, aku akan meraung-raung untuk memintanya melepaskanku dalam penjara yang tidak bisa aku tembus ini. Memintanya membebaskan jiwa dan ragaku dari cengkraman laki-laki jelmaan makhluk neraka.

Sebenarnya, selama satu tahun ini, membangun bahtera rumah tangga dengannya, tidak bisa membuatku bahagia secuil pun. Yang ada, hanya tekanan batin yang terus aku endap dalam hati. Karena semakin banyaknya endapan itu, aku semakin tidak sanggup untuk membuangnya. Menangis hanya salah satu cara dari mengeluarkan endapan itu. Tapi, semakin lama aku menyadari kalau menangis malah akan menambah rasa sakit hatiku dan hanya membuatku capek. Capek hati dan capek fisik. Setiap sesenggukan dan bulir mata yang aku keluarkan untuk menangisinya, hanya sia-sia. Tidak membawa pengaruh dari sikapnya. Bahkan, dengan ia mengetahui sisi rapuhku, dia dengan seenaknya mempermalukanku layaknya perempuan tidak berarti dalam hidupnya. Walaupun aku yakin, ia menyadari kalau kami adalah sepasang suami istri yang harus saling memberi kasih sayang.

Gebrakan pintu membuatku terlonjak dari tempat duduk. Dengan paniknya, aku menghampiri suamiku yang sedang sempoyongan berjalan menuju ruang tamu. Penampilannya sangat kacau. Kemejanya sudah keluar dari balik celananya. Keliman kemeja yang aku bentuk setiap aku menyetrika pakaiannya, sudah tidak terlihat. Menyisakan kusutan yang sangat kacau seperti rambutnya.

Dengan cepat, aku merangkul tubuhnya untuk menyamakan langkah kami. Tapi, tanganku tiba-tiba dicekal oleh tangan lain. Aku pun mendongak dibuatnya, dan melihat seorang perempuan yang baru aku sadari sejak tadi berdiri di belakang suamiku. Sontak, perempuan itu menggantikanku yang akan melakukan kegiatan itu pada tubuhnya.

"Dimana kamar Dipta?" tanyanya padaku. Dengan sekuat tenaga untuk menahan air mata, aku berjalan mendahuluinya dan kudengar tapakan kaki yang mengikutiku. Aku pun berjalan menuju kamarnya. Iya. Kamarnya. Bukan kamar kami, dia bersikeras untuk tidur sendiri. Aku hanya seseorang yang menumpang dirumahnya, cuma bisa mengangguk lemah. Lagipula, aku juga tidak mengharapkan untuk tidur satu kamar dengannya.

Kenop pintu berputar dan aku mempersilahkan wanita itu untuk membawa suamiku yang setengah sadar. Perasaanku saat ini tidak dapat digambarkan oleh apapun. Rasanya seperti bom atom yang menghujam, dan memporak-porandakan semuanya.

Aku dapat melihat perempuan itu yang mengelus sejenak kening suamiku di tempat tidur bersamaan dengan dengkuran lembut yang terdengar dari mulutnya. Sebegitu nyamankah elusan perempuan itu? Aku tahu aku bukan siapa-siapa di mata kamu, tapi ... Apa kamu bisa untuk sedikit saja mempermudah situasi ini?

Tidak lama kemudian, perempuan itu berdiri dari tempat tidur dan merapikan sedikit penampilannya lalu bergegas ke bibir pintu tempatku mematung sejak tadi. Tiba-tiba dia berhenti tepat di sampingku. Sangat dekat. Aku bisa mendengar hembusan nafas yang dia keluarkan. Rambut cokelatnya yang terjuntai, sedikit menyentuh pundakku yang tertutup kain.

"Sungguh malam yang luar biasa dengan suamimu, Naida." ujarnya dan melenggang pergi. Angin bekas hempasan tubuhnya saat berjalan, menampar pelan wajahku.

Apa maksudnya? Lagi-lagi hatiku terhujam dan membuat seluruh tubuhku lemas. Pertahananku akhirnya runtuh. Air mata yang sejak tadi aku tahan, sekarang sudah meluncur dengan deras di pipi. Dengan sejadi-jadinya, aku menjambak rambutku sendiri. Mencengkram kepalaku dan mendorongnya ke belakang supaya bertubrukan dengan daun pintu. Menampar pipiku sendiri. Semua suara dentuman yang dihasilkan, aku biarkan agar bisa merasakan sakit fisik. Apapun akan aku lakukan untuk menghentikan sakit batinku. Bahkan dengan menyakiti diriku sendiri.

Paru-paruku tiba-tiba sesak. Aku memukul pelan dadaku agar udara kembali masuk ke dalamnya. Namun, lama kelamaan, pukulan itu semakin keras dan menyisakan kesakitan. Dengan air mata yang terus mengalir, aku melihat tubuh suamiku yang tertidur dengan damai di kasur. Sejenak aku berpikir, apa yang ia lakukan sebelumnya? Pulang saat dinihari dan diantar oleh seorang perempuan. Siapa dia? Apa maunya? Dan tunggu. Bukankah dia itu adalah perempuan yang dulu pernah Pradipta bawa ke rumah. Aku ingat sekali. Dia Sarah. Untuk kedua kalinya, perempuan itu menginjakkan kakinya di rumah Pradipta.

Dan satu hal yang sangat aku takutkan. Satu hal yang akan aku sesali seumur hidup sesaat setelah mengucapkannya. Satu hal yang dapat menobatkanku menjadi perempuan paling bodoh di dunia.

Satu hal itu adalah...

"Apa dia akan merebutmu dariku, Pradipta Hamzan?"

Nadipta (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora