09. Naida

35.5K 1.9K 6
                                    

Aku memandang sekeliling rumah yang sudah hampir dua minggu ini aku tinggali. Rumah Pradipta yang menjadi saksi atas rasa cinta 'pura-pura' Pradipta. Hatiku tiba-tiba mencelos mengingat kisah cinta pernikahan kami hanya seting-an belaka yang Pradipta ciptakan. Tapi kini, laki-laki yang berstatus sebagai suamiku tengah menatapku dari jarak lima langkah ke depan. Aku tidak bisa mendeskripsikan air mukanya, yang aku baca adalah kalau wajahnya sangat pias dan terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Aku mencoba tersenyum padanya. Pradipta lantas membawa kembali koper yang ia pegang, lalu pergi ke lantai atas.

Aku masih duduk di sofa. Memoriku tentang Pradipta kembali berputar saat kami berdua menapakkan kaki pertama kali di rumah ini. Saat itu, Ibuku ikut tinggal bersama kami selama seminggu. Selama itulah aku harus pintar-pintar berperan.

"Welcome to our sweet home, Sayang." Pradipta memelukku yang ada di sampingnya.

"Ya Allah, le'... rumahmu bagus banget." Ibuku berdecak kagum.

Pradipta bergantian memeluk ibuku, sedangkan aku tersenyum melihat ke'pura-pura'an Pradipta. "Ibu bisa kapan aja dateng kemari. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk Ibu."

Kami sampai di rumah Pradipta sudah hampir tengah malam. Pasti Ibu merasa kelelahan saat kami terjebak macet dalam perjalanan tadi. "Ibu mau langsung istirahat?" aku bertanya di belakang. Mereka berdua membalikkan badannya dan Pradipta menaikkan sebelah alisnya saat memandangku.

"Iya, Nak. Kamar Ibu dimana ya, Dipta?" tanya Ibu.

Pradipta tersenyum menanggapi. "Barangnya biar Dipta yang bawa. Ibu ikutin Dipta aja." Ibu mengangguk lantas mengekori di belakang Pradipta yang sedang menarik koper milik Ibu. Aku pun menyusul mereka.

Tak lama berselang, Pradipta keluar dari kamar Ibu dan menutup pintunya. Ia berdiri di depanku. Tubuhku seketika dingin.

Pradita membungkuk untuk menjajarkan bibirnya ke telingaku. "Kamar sementara kita ada di sebelah kamar Ibumu." Dia bahkan memanggil Ibu dengan Ibumu. Sedangkan tadi, ia berbicara Ibu tanpa embel-embel kepemilikan punyaku. Pradipta kembali seperti biasa.

Aku mengangguk saja dan jalan untuk mengikuti Pradipta.

"Ini kamar kita untuk sementara selama Ibumu ada disini. Setelah Ibumu pergi, kamu tidur di kamar sebelah karena ini kamar saya. Kamu bisa tidur di ranjang, dan aku tidur di sofa. Seperti halnya malam pertama kita, kamu jangan keras kepala untuk menolak dimana saya tidur. Karena kalau kita berdebat, Ibumu bisa mendengarnya. Kamu ngerti, Naida?"

Lagi-lagi aku mengangguk. Pradipta melesat masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Sekarang apa yang harus aku perbuat? Selama seminggu ke depan, aku harus berada satu kamar dengan Pradipta dan mendapatkan perlakuan dinginnya padaku. Aku tidak bisa menolak, karena hal itu bisa membuat kami terjebak dalam perdebatan. Aku takut, Ibu bisa curiga dan rahasia kami terbongkar. Cukup aku yang merasakan rasa sakit ini, tidak untuk Ibuku. Beliau dapat bahagia mendapati bahwa anak perempuan satu-satunya sudah berada di tangan laki-laki yang tepat.

Namun entah mengapa, aku tidak bisa mengelak kalau Pradipta bukanlah laki-laki yang Ibu maksud. Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu menahu.

Setidaknya, itu dulu.  Kini, aku melihat aura yang berbeda dari Pradipta. Senyumannya, garis tipis di ujung matanya menunjukkan ketulusan dari senyumnya itu. Aku tidak bisa lagi untuk membenci Pradipta dan menyalahkannya atas rasa sakit hatiku. Karena sekarang, Pradipta sudah benar-benar mencoba untuk menjadi seorang suami yang baik untuk pernikahan kami. Namun, aku masih dalam tahap mencoba untuk kembali menjadi Naida yang suci dan menerima sepenuh hati dengan perubahan drastis Pradipta. Aku masih mencobanya.

Sekarang, kami berada di kamar yang sama. Tidak berpura-pura, dan tidak pula karena ada keluarga yang berada satu atap dengan kami. Ini murni keinginan Pradipta yang memintaku untuk satu kamar denganku.

"Kenapa, Pradipta?"

"Saya mau kita mulai awal lagi. Dan mulai dari kamar ini, kita memperbaiki semuanya."

Aku menggeleng. "Tapi aku belum cukup bisa, Pradipta."

Pradipta mendekat dan mengikis jarak di antara kami. Keningnya ia sentuhkan di keningku. Setetes air mata menghalangi pandanganku.

Ibu jarinya menghapus jejak air mata itu. "Kita coba bersama-sama, Naida. Suami istri harus satu kamar, bukan? Tenang saja, Naida. Saya akan tidur di sofa, kamu tidak perlu takut terhadapku."

"Bagaimana kalau aku menolak?" aku bergetar mengucapkannya. Deru nafasnya begitu terasa menerpa wajahku.

"Bukannya kita sudah sepakat untuk mencoba menjadi suami istri sepenuhnya?"

Aku mengangguk menyetujui. Tapi bayangkan kalau kamu menjadi aku, Pradipta. Apa kamu tidak akan terus terbayang-bayang mengenai memori menyakitkan itu ketika kamu berada di dekat orang yang menciptakan memori-memori itu? Aku belum bisa, Pradipta. Setidaknya untuk saat ini.

"Aku mohon, Naida."

Akhirnya aku mengangguk. Bibirnya bergetar saat menyentuh keningku. Cukup lama ia mengecup keningku, dan bibirnya kian bergetar hebat sampai aku merasakan air yang jatuh dari keningku dan jatuh ke mataku.

Pradipta menangis. Ia benar-benar menangis. Hatiku rapuh melihatnya begini. Suami yang aku cintai menangis di depan istrinya.

Aku melingkarkan tanganku di sekeliling pinggangnya. Air mata kami berbaur bersama. Air mata kebahagiaan dan penyesalan yang menyatu menjadi satu.

Hal yang tidak bisa aku pungkiri, kalau aku memang benar-benar menerima Pradipta Hamzan sebagai suamiku di dunia dan akhirat kelak. Kamu, Pradipta yang aku percayakan untuk menerima cintaku. Kesempatan yang aku berikan agar Pradipta menjaga sepenuh hati cintaku padanya.

Aku masih mencintaimu, suamiku.

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now