03. Naida

45.7K 3.2K 11
                                    

Sore ini, ibu mertuaku menyuruh untuk pulang lebih cepat. Padahal, pekerjaan yang harus aku selesaikan masih menumpuk dan butuh perhatian khusus. Kalau aku tidak menjabat sebagai menantunya pemilik perusahaan yang menjadi tempat kerjaku, sudah sejak dulu aku memilih resign karena tidak enak hati dengan kawan-kawan kantor yang menggantikanku mengerjakan pekerjaan milikku. Atas perintah Mamah Karina, mereka bersedia melakukannya. Sungguh, beliau sangat memanjakanku.

"Mah, Naida bisa ngerjain kerjaan Naida. Mamah enggak perlu khawatir." Aku meyakinkan wanita paruh baya yang memberikanku kelonggaran pekerjaan setelah menyabet sebagai menantunya

Beliau hanya menggeleng dan kembali berkutat dengan paper-nya.

"Mah," aku mengiba.

"Naida, kamu harus dengar kata mamah. Ini demi kebaikan kamu juga, Nak. Dipta enggak akan senang kalau istrinya capek-capek bekerja."

"Tapi, Mah..."

"Dipta punya cukup penghasilan sebagai pengacara. Kamu enggak perlu capek, Sayang."

Akhirnya aku mengalah. Hal-hal itu demi kebaikan semuanya. Semuanya kecuali diriku sendiri. Itu justru sebagai tombak yang semakin dalam menghunus batinku.

Setelah tidak diterima sebagai istri, lantas harus menerima rasa kejenuhan. Padahal, aku berniat untuk menumpahkan semuanya ke pekerjaan. Bahkan, sampai sakit sekalipun. Aku rela. Rela sampai mati pun, aku rela.

Pradipta hanya seorang lelaki yang sedang aku usahakan untuk membencinya.

Hatiku mulai tertutup secara perlahan. Kalaupun Pradipta berusaha untuk membukanya lagi, akan sangat susah. Dan kemungkinan besar tidak akan pernah bisa dibuka oleh tangannya. Hati ini akan aku berikan ke orang yang dengan tulus mencintaiku. Bukan tulus menyakitiku.

Dengar itu, Pradipta?

Aku melangkah ke dalam rumah. Waktu masih menunjukkan pukul lima lewat lima belas sore. Sepi. Hening. Kenapa aku heran, ya? Bukannya aku sudah terbiasa dengan kesunyian ini?

Tanpa perlu memikirkannya, aku segera masuk ke kamar dan merebahkan tubuh di kasur. Walaupun di kantor aku tidak terlalu banyak mengerjakan pekerjaan, tetap saja membuatku sedikit lelah. Perjalanan pulang tadi aku terjebak macet yang cukup lama. Jarak tempuh yang harusnya hanya memakan satu jam, tadi membutuhkan tiga puluh menit lebih lama dari seharusnya.

Bisa dibilang, aku sangat tidak menyukai suasana ibukota. Macetnya terutama. Siapa yang tahan kalau harus stuck di dalam mobil dalam jangka waktu yang lama? Belum lagi suara-suara klakson yang saling bersahutan dengan volume tinggi membuatku ketakutan setengah mati.

Aku phobia terhadap suara kencang yang saling mendahului. Mengerti maksudku? Seperti suara klakson yang saling menyahut, suara orang yang membentak kasar padaku secara terus menerus, ataupun suara petir yang terus berlomba menunjukkan kegagahan mereka. Intinya, aku takut suara keras.

Hatiku lega karena Pradipta tidak pernah sama sekali membentakku. Jika ia sedang kesal dan tidak bad mood ketika melihatku, Pradipta memilih untuk diam, bersikap cuek, kalaupun bersuara, pasti datar. Walaupun aku tahu, rahangnya sudah mengeras menahan geraman.

Tapi Pradipta, kalau kamu tahu isi hatiku ini, aku lebih memilih kamu untuk membentakku. Mencercaku. Menyumpahiku. Mengeluarkan semua amarahmu. Sampai pada saatnya kalimat yang aku tunggu-tunggu keluar manis dari mulutmu. "Saya ceraikan kamu, Naida."

Ah, sudahlah. Lagipula, itu masalah gampang kalau hanya memancing Pradipta untuk mengucapkan kalimat itu. Sebenarnya, kalau aku berkata minta diceraikan, pasti Pradipta langsung menalakku tanpa perlu pikir panjang. Sayangnya, kalimat "aku minta cerai" tidak kunjung juga berani aku ucapkan. Alih-alih hanya air mata yang bisa aku tunjukkan ke Pradipta.

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang