08. Naida

37.9K 2.1K 16
                                    

Seminggu lebih tiga hari sudah aku menyerah untuk Pradipta, dan selama itulah suamiku terus menelponku. Aku selalu menjawabnya, tetapi aku lebih banyak mengeluarkan air mata tat kala Pradipta memintaku untuk kembali pulang. Aku tidak tahu menahu rencana apa yang ia sudah buat. Sebenarnya, aku tidak ingin memiliki prasangka buruk terhadap seseorang, terlebih dia adalah suami sahku sendiri. Tapi entah mengapa, Pradipta membuatku semakin ingin membuatku untuk melepaskan belenggunya. Aku ingin membuat Pradipta bahagia, walau tanpaku.

Malam ini, aku tidak makan malam. Kompor menyala dan aku memasukkan satu bungkus pudding instan rasa pandan. Entah kenapa otakku memerintahkanku untuk membuat pudding pandan. Padahal, aku ingin pelan-pelan menghindari hal-hal yang berhubungan dengan Pradipta, supaya rasa bersalahku bisa sedikit berkurang.

Rumah ini terasa sangat sepi. Hanya suara televisi memenuhi ruangan keluarga yang langsung terhubung dengan dapur. Setelah aku pikir pudding ini matang sempurna, aku langsung mencetaknya di wadah berbentuk bintang dan bulan sabit. Setelahnya, aku mendinginkannya sebelum selanjutnya aku masukkan ke dalam kulkas. Suara ketukan pintu, menginterupsi pendengaranku.

Tubuhku membeku tatkala mataku menangkap dada bidang yang terbungkus kaos putih dengan sweater kesayangan miliknya. Pradipta sedang memandangku yang masih diam ditempat. Pandangannya terlihat sayu. Ada apa denganmu, Pradipta?

Ia memegang pundakku, lantas mendekapnya erat. Tak sadar, air mataku jatuh membasahi sweater miliknya. Aku harap, ia tidak marah setelah ini. Aku harap, Pradipta terus memperlakukanku seperti ini. Pradipta yang hangat.

"Naida." Bisiknya lirih. Telapak tangannya menghantarkan kehangatan di punggungku. Sedangkan aku masih betah berlama-lama dalam pelukannya. Menghirup parfum yang ia pakai, aku sangat hafal wewangian parfum ini. Parfum yang aku berikan padanya di hari ulang tahun pernikahan kami.

Saat itu sepulang dari kantor Mama Karina, aku langsung pergi ke sebuah Mall di daerah kasablanka menggunakan taksi. Aku ingin membuat Pradipta senang kalau ternyata aku mengingat hari pernikahan kami yang usianya sudah tiga bulan. Sudah seminggu aku memikirkan hadiah apa yang akan aku berikan kepada suamiku. Lalu aku pikir, Pradipta pasti sudah memiliki semuanya. Tapi, dia kan belum punya barang dariku. Jadi tidak ada salahnya buatku untuk membelikannya sebuah parfum.

Aku berhenti di sebuah toko parfum, baru memasukinya saja sudah menyeruakkan berbagai macam wewangian yang sangat enak saat aku hirup. Aku berjalan ke meja yang menjajakan parfum laki-laki. Pramuniaga disana mendeskripsikannya dengan sangat baik sampai aku bingung harus memilih parfum dengan wewangian yang seperti apa, dan cocok dengan kepribadian Pradipta.

Sampai akhirnya, aku menjatuhkan pilihan pada salah satu botol berbentuk kotak dengan wewangian maskulin. Pradipta sangat pas kalau menggunakan parfum ini. Walaupun Pradipta pasti memiliki banyak parfum maskulin, tetap saja kalau pemberian dari istri, lebih spesial. Semoga Pradipta menerimanya dengan senang hati.

"Saya pilih yang ini saja, Mbak." Kataku pada sang pramuniaga. Aku mengekorinya ke meja kasir, lalu membayarnya dengan uang cash.

Setelah membeli parfum, aku memakirkan diri ke coffe shop dan memesan sebuah green late, tak lupa dengan tulisan namaku yang tertulis di gelasnya. Naida. Aku tersenyum melihatnya.

Sepulang dari tempat perbelanjaan, aku langsung masuk ke dalam rumah dan mendapati ruangan yang gelap. Saat aku mengetuk pintu ruang kerja Pradipta, wajahnya terpantulkan cahaya dari layar laptopnya. Dia sangat fous terhadap apa yang ia ketik saat itu. Sampai-sampai, ia tidak menyadari kehadiranku yang sudah di ambang pintu. Melihatnya saja, aku sudah tersenyum.

"Pradipta," panggilku.

Ia menengok sekilas, lantas kembali menatap layar laptopnya. Aku mendesah pelan. Perlahan, aku berjalan ke arahnya, berdiri di belakang tubuhnya dan menyentuh pundaknya yang menegang.

"Kamu sedang apa, Naida? Kalau tidak ada hal yang penting, tolong tinggal saya sendiri disini."

Aku berusaha merengkuh lehernya, namun secepat kilat ia menghentakkan bahunya. Membuatku mau tak mau melepaskan lingkaran tanganku di lehernya. Ia memutar tubuhnya untuk menghadapku.

Aku tersenyum ke arahnya. "Lihat apa yang aku bawa buat kamu."

Sudut bibir sebelahnya terangkat. "Taruh aja di meja kamarku, Naida. Kamu tidak perlu repot-repot membelinya untukku." Punggungnya kembali diputar.

Bahuku turun melemas. Dengan langkah gontai, aku keluar dari ruang kerjanya. Sebelum aku menutup pintunya, Pradipta memanggilku kembali.

"Kamu tidur duluan aja, tidak perlu nunggu saya. Satu lagi, jangan ganggu aku lagi."

Tubuhku direngkuh oleh lengannya. Kami duduk di sofa ruang tamu. Pradipta masih disini, dan ini bukan mimpi dan khayalanku. Pradipta masih memelukku dan aku masih menangis di dadanya. Ia terus-terusan mengelus puncak kepalaku, dan sesekali menghirupnya dalam.

"Naida... hentikan nangismu itu. Aku tambah sakit ketika melihat kamu menangis dan itu karena perbuatanku sebagai suami yang mungkin tidak pantas lagi disebut sebagai seorang suami. Aku salah, Naida."

Aku menggeleng dalam pelukannya. "Jangan bicara, Pradipta. Untuk kali ini aja, aku mohon biarkan aku puas memeluk kamu. Kalaupun ini mimpi, biarkan ini menjadi mimpi indah. Aku mohon, Pradipta."

Nadipta (Completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu