02. Naida

52.1K 3.3K 15
                                    

Pagi ini, aku sudah menyiapkan sarapan untuk Pradipta. Sebelumnya, kemejanya sudah aku siapkan dan diletakkan di dudukan sofa kamarnya. Beginilah rutinitasku semenjak menyandang sebagai Nyonya Hamzan. Bangun pagi, mandi, menyetrika setelan yang akan Pradipta kenakan, menyiapkan sarapan, menerima lengosan di pagi hari, lantas menangis setelahnya. Aku sudah hafal betul di bagian menangis. Karena tiada hari tanpa menumpahkan air mata itu. Terkadang aku berpikir, sampai kapan air mata ini akan berhenti mengalir dan kemudian mengering seperti gurun. Kapan? Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup untuk mengeluarkannya.

Pintu kamar Pradipta terbuka. Penampilannya masih kusut seperti semalam. Matanya menyipit untuk beradaptasi dengan cahaya yang lebih terang dibanding kamarnya.

"Selamat pagi, Pradipta." sapaku. Aku belum berani untuk memanggil Pradipta dengan sapaan Mas, Abang, atau sapaan antara istri ke suami lainnya kalau berada di rumah sendiri. Pradipta yang mau. Kecuali, saat kami bersandiwara di depan keluarganya dan keluargaku. Pradipta bersikeras untuk memanggil dirinya dengan sapaan 'Mas',

"Kalau ingin akting, totalitas sekalian. Enggak perlu setengah-setengah. Ngerti?" jawabannya begitu dingin dan menusuk saat aku mempertanyakan perihal itu. Aku di situ hanya bisa mengangguk. Lagi. Aku tidak ada apa-apanya kalau berhadapan dengan Pradipta. Sebenarnya kamu ini makhluk apa, Naida? Bisakah kamu sedikit saja merasa jahat kepada orang lain?

Aku menertawai diriku sendiri. Kewarasanku cukup dipertanyakan. Orang-orang akan berlomba untuk mencari kebaikan dalam dirinya. Tapi, aku justru mencari secuil kejahatan yang pasti terpendam jauh di sana. Hidup kamu miris sekali ya, Nai?

Lantas, badannya kembali memunggungiku tanpa membalas sapaanku tadi. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau responnya akan seperti itu. Aku-nya saja yang terlalu bodoh dan banyak berharap untuk bisa merubah sikap Pradipta dan meyakinkannya mengenai pernikahan kami.

Aku terdengar seperti anak ABG labil yang terlalu banyak termakan rayuan novel teenfiction yang menceritakan laki-laki misterius nan dingin, lalu datang seorang cewek yang bersikeras untuk mengubah kepribadian si cowok itu menjadi lebih hangat. Walau dulu aku sangat kecanduan novel macam itu, sekarang aku baru menyadari kalau rangkaian kata indah yang bisa membuatku terbang ke dunia penulisnya itu, tidak segampang dan seindah apa yang dituliskan. Semuanya sangat runyam. Percayalah.

"Aku belum siap, Bu." Aku memandang gaun putih yang khusus dibuat untukku. Setiap dandananku, from head to toe, semuanya bernilai harga tinggi. Wajarlah seperti itu, karena Pradipta adalah anak pertama yang menikah di Keluarga Hamzan. Suatu kehormatan bagiku sekaligus suatu kutukan bagiku.

Di ruang rias pengantin, Ibu hanya bisa menggeleng dan tersenyum menanggapi ucapanku itu. Tangannya mengenggam erat tanganku yang mulai bergetar menahan tangis. "Semuanya perlu proses, Naida. Hidup tidak bisa instan seperti jaman sekarang yang hanya bisa terima jadinya tanpa susah-susah berjuang untuk ngedapetin apa yang kita mau." Matanya berbinar bahagia sekaligus sedih.

"Do'akan Naida, Bu." Beliau mengangguk dan mencium keningku lembut.

Kenangan itu buyar saat Pradipta melewatiku hanya sekedar meneguk air di gelas bening yang ada di sampingku. Punggungnya semakin menjauh dan tenggelam di balik pintu kamarnya. Sampai kapan aku kuat dengan semua ini? Kesabaran orang ada batasannya, asal kalian tahu. Aku tidak tahu sampai sebatas apa kesabaranku. Namun aku yakin, hatiku masih cukup banyak ruang untuk menampung kesabaran itu.

Aku kembali untuk membersihkan meja dapur yang baru aku sadari, tadi sudah aku bersihkan. Ini hanya spontanitas agar aku memiliki sebuah kegiatan supaya air mataku tidak kembali menetes. Tanganku kembali berkutat dengan alat masak.

Pikiranku kembali ke masa-masa kami sebagai pengantin baru. Saat itu, Pradipta mengajakku untuk berkunjung pertama kali ke rumah orang tuanya setelah menyandang status sebagai pasangan suami-istri. Kalau bukan Mamah Karina-ibu mertuaku-yang meminta, pasti Pradipta juga tidak mau repot-repot untuk mengajakku ke sana. Kami berkumpul di ruang keluarga, duduk di setiap sofa yang tersusun bujur sangkar. Mereka-keluarga inti Pradipta-saling bersenda gurau, tertawa membicarakan keponakan Pradipta yang sedang lucu-lucunya. Tiba-tiba saja, Mamah Karina menyeletuk ucapan yang aku ingat saat ini.

"Kalau Dipta lagi bad mood, masakin aja pudding rasa pandan. Pasti langsung diem. Dia suka banget sama makanan itu, Nak Naida." Aku ingat betul ekspresi senyum terpaksa yang Pradipta suguhkan di sampingku. Aku hanya bisa mengangguk dan menatap nanar wajah Tante Karina yang sangat menerimaku sebagai menantunya. Sedangkan Pradipta langsung berdiri dan lebih memilih pergi ke halaman belakang untuk ikut gabung bermain dengan keponakannya dibanding dengan berdekatan dengankku. Bahkan, tadi itu adalah jarak terdekat yang Pradipta berikan setelah menjadi suami.

Kalau saja hanya dengan pudding pandan bisa meluluhkan hatinya, aku dengan senang hati memasakannya setiap hari untuk Pradipta. Agar dia bisa melihatku. Agar dia bisa menganggapku sebagai orang yang ada. Tapi, aku sadar kalau dengan membuatnya hangat seperti itu, tidak semudah membuat pudding pandan.

Suara letupan pudding yang sudah mendidih, membuatku kembali sadar dan buru-buru menuangkannya ke dalam cetakan. Mungkin saja, Pradipta sedang mandi dan akan kembali ke dapur untuk mengambil makanannya. Lantas melihat pudding pandan yang aku buat, kemudian memakannya dengan lahap. Selanjutnya, terjadilah obrolan kecil antara kami. Obrolan yang sangat aku dambakan selama satu tahun ini. Harapanku dan cairan pudding pandan-ku, semuanya tertuang ke dalam cetakan.

Pradipta keluar dari kamarnya dengan tampilan yang sudah rapi. Dasi hitamnya menggantung di lehernya. Aku tersenyum sebentar sambil memandang laki-laki yang aku benci dan akan-aku-coba-untuk-cinta ini. Bodoh memang. Tapi, aku senang karena Pradipta memakai setelan yang aku siapkan tadi pagi. Setidaknya, Pradipta masih menghargai usahaku.

Wangi sabunnya tercium semerbak saat Pradipta mengambil sarapannya. Dia memakan dalam diam tanpa melirih sedikitpun ke arahku yang mematung di depannya. Dalam hati, aku ingin menanyakan pendapatnya tentang masakanku, tapi seolah-olah pertanyaan itu tercekat di tenggorokan sebelum berani aku lontarkan. Setidaknya, dengan melihat Pradipta makan tanpa selaan ucapan meremehkan mengenai masakanku, aku sudah bisa menebak kalau Pradipta menyukainya.

"Aku buat pudding pandan untuk kamu, Pradipta." Dia menoleh. Hanya sepersekian detik dan kembali menyantap makanan di hadapannya.

"Kamu enggak perlu peduli dengan saya, Naida. Karena saya tidak peduli dengan kamu."

Kemudian dia pergi. Tanpa ucapan salam yang mengawali kepergiannya untuk bekerja. Bahkan, sarapannya pun masih tersisa banyak di piring. Aku berusaha, Pradipta. Aku sedang berusaha untuk membuat kamu menerima perjodohan ini. Kalaupun kamu sadar, Pradipta, aku pun tidak menginginkan perjodohan ini sejak pertama. Tidak sama sekali. KAMU SADAR ITU, PRADIPTA HAMZAN?

Tapi kenapa aku tidak bisa untuk benci kamu, Pradipta? Kenapa?! Sebegitu dahsyatnya kah sosok suamiku saat ini? Iya kan, Pradipta?

Tolong, Pradipta. Bantu aku untuk benci sama kamu. Itu permintaanku. Tidak susah sama sekali. Bahkan, aku yakin kalau kamu akan dengan senang hati mengabulkannya. Iya, bukan?

Bantu aku untuk membencimu.

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now