01. Pradipta

61K 3.7K 41
                                    

Tim kami memenangkan sebuah kasus di pengadilan. Tidak tanggung-tanggung klien kami memberikan sebuah bonus yang besar saat memenangkan sebuah persidangan itu. Dan sekarang waktunya gue buat "minum" di rumah temen gue yang sudah disulap sebagai tempat party.

Dentuman suara dari speaker buat gue makin menggila. Dasi yang sebelumnya masih menggantung rapi di lipatan kerah, sekarang sudah terlepas berantakan. Masa bodoh dengan dasi. Alkohol yang berjejer di meja, terus gue teguk. Gue enggak peduli seberapa banyak. Karena yang gue peduliin saat ini cuma menikmati yang namanya hidup dan menikmati lembaran uang yang menggantung di atas meja. Mentang-mentang banyak uang, Ega sampai menggantungnya seperti itu. Tapi pada akhirnya, gue sadar kalau uang banyak bikin hati senang dan uang bisa bikin lo merasakan yang namanya kehidupan.

Setidaknya, gue bisa melepas suntuk dari semua permasalahan yang pasti muncul setiap gue pulang ke rumah. Bahkan saat gue melihat muka Naida, udah bikin gue muak. Kalau enggak keinget Mamah gue yang benar-benar berharap banyak dengan pernikahan bangsat ini, ingin rasanya gue buat ngusir cewek itu dari rumah gue. Dan dengan itu, gue bisa sepuasnya pergi kencan dengan pacar asli gue. Persetan dengan Naida. Persetan dengan perjodohan ini. Kalau aja gue bisa menolak permintaan Mamah gue.

"Mamah minta kamu untuk menikah dengan pegawai Mamah." Dengan kesadaran yang masih cukup, gue inget perkataan Mamah saat itu. Pikiran gue di bawa ke sosok Sarah yang udah jadi pacar gue selama dua tahun. Gue benar-benar enggak bisa untuk nurutin permintaan Mamah. Tapi entah kenapa, gue selalu lemah sama Mamah. Semua perkataannya bisa bikin gue luluh seketika.

Gue sayang Mamah gue, dan selamanya akan seperti itu. Walaupun saat ini gue masih menyesali keputusan yang Mamah buat, tapi gue akan terus berusaha membuatnya senang. Meskipun pada akhirnya, gue sama Naida cuma bisa akting di depan Mamah. Kalau hanya akting bisa buat Mamah senang, maka dengan senang hati gue bakal ngelakuin itu sampai gue benar-benar bisa nerima pernikahan ini.

Sampai saat ini, hubungan gue sama Sarah masih sama dan tidak berubah sama sekali. Gue sering jalan bareng dia, kencan seperti dulu tanpa embel-embel pernikahan. Karena toh ... gue cuma cinta sama dia. Bukan sama Naida. Bagi gue, Naida cuma parasit yang nempel di kehidupan gue. Sarah tahu dengan status gue. Sarah tahu semuanya. Dan dengan semua itu, Sarah masih mau nerima gue. Sarah benar-benar perempuan yang bakal jadi pendamping gue. Bukan Naida.

Sekarang, Sarah ada di samping gue. Dia ikut party bareng tim gue karena gue ajak dia. Dengan muka yang sumringah, dia terus menyodorkan gelas kelima. Gue cuma bisa senyum dan nerima gelasnya. Tangannya mengelus pelan bahu gue, lalu pindah ke tengkuk gue. Satu kecupan gue kasih malam itu buat Sarah. Dia menerimanya dengan senang hati dan membuatnya menghentikan kegiatan mengelusnya. Enggak. Gue sama sekali enggak berhubungan badan dengan Sarah. Gue enggak akan kasih noda buat cewek yang belum sah menjadi istri gue. Itu prinsip.

Naida? Oke. Dia istri gue. Tapi gue enggak cinta sama dia. Dan gue juga mengatakan, enggak akan pernah make love dengan orang yang enggak gue cinta. Naida termasuk.

Jadi intinya, gue akan menyerahkan diri gue kalau cewek itu istri gue, dan gue cinta sama dia. That's it. Percintaan gue sesederhana itu. Prinsip itu yang Mamah gue selalu bilang pas gue lagi bandel-bandelnya jaman SMA. Wajengan itu, terus gue jadiin tonggak kesucian gue. Temen-temen gue nganggep gue kolot atau apalah namanya, tapi gue termasuk orang yang keras kepala. Cuma Mamah gue yang bisa mempengaruhi gue.

Perut gue tiba-tiba mual. Gue udah biasa got drunk, tapi kenapa sekarang gue mau muntah. What the hell with you, Dipta? Enggak biasa-biasanya gue kayak gini. Apa kandungan alkohol yang terlalu tinggi? Shit! Ega ngejebak gue! Dia mungkin sengaja bikin gue mabuk. Gue pernah cerita ke dia kalau gue paling anti sama pulang dalam keadaan mabuk. Masa bodoh dengan itu, terserah apa yang mau Naida bilang ke Mamah kalau gue pulang dengan keadaan kacau kayak gini. Sekali lagi gue tegasin kalau Naida Cuma parasit. Ya. Parasit dalam hidup gue. Kenapa gue harus mikirin dia sih?

Badan gue serasa terbang. Mata gue udah sayu. Lampu warna-warni di rumah Ega bikin gue pusing. Benar-benar pusing. Tapi, musik yang terus berdentum itu, seakan-akan narik gue buat ikut hanyut di setiap irama disco-nya.

Sarah udah ada di depan gue. Tangannya merangkul leher gue yang bergerak enggak karuan arah. Ke belakang, depan, samping kanan, kiri. Pokoknya gue benar-benar nikmatin musik ini. Tangan gue juga udah berpindah untuk memegang pinggulnya. Meremasnya dengan sejuta kerlingan maut yang gue kasih supaya dia terbang dan makin ngerasa kalau gue benar-benar cinta sama dia. I'm the only her lover.

Tubuh gue berat. Sangat berat. Kaki gue enggak bisa nopang tubuh gue sendiri. Dan pada akhirnya, kepala gue bersandar di bahu Sarah yang kewalahan buat menopang tubuhnya dan tubuh gue.

Yang gue rasain sekarang, tubuh gue bergoncang ke kanan dan ke kiri. Tapi ada tali yang menahan gue supaya enggak jatuh ke depan. Pejaman mata gue yang berat, dipaksa mengintip keadaan sekitar. Gue ada di dalam mobil. Gue sadar kalau ini mobil Sarah. Sudah dipastikan kalau Sarah yang anter gue pulang.

Pulang? Gue cuma bisa menggerutu. "Aku enggak mau pulang, Sayang! Di rumah ada Naida. Mending pulang ke rumah kamu aja ya?" gue menggumam pelan.

Samar-samar gue dengar Sarah menjawab. "Kamu harus pulang, Sayang. Aku takut enggak tahan sama pesona kamu." Gue tersenyum saat dengar ucapan Sarah. Gue coba raih tangannya yang ada di kemudi. Mencium lembut tangan dalamnya.

Oh, gue benar-benar cinta sama dia. "Would you be mine, Sarah?" tanya gue.

"I'm yours, Dipta." Jawabnya.

"No. I mean, be my wife, please?"

"I can't. How about Naida?"

Aku terbahak mendengarnya. "Dia bakal aku ceraikan. So... Marry me?"

Sarah mengusap rambut gue dan menggumam pelan. Gue enggak sepenuhnya bisa mendengar. Karena kesadaran gue kembali hilang. Samar-samar helaan nafasnya mengakhiri obrolan kami. Gue kembali ke alam mimpi. Satu-satunya tempat yang bisa bikin gue mewujudkan semua macam hal yang enggak bisa gue wujudin di alam nyata.

Entah gue lagi mimpi atau bukan, tubuh gue terlentang di kasur yang empuk. Sepatu gue dilepas perlahan, begitu juga dengan kaus kakinya. Lalu tubuh gue yang dingin, diselimuti sampai ke dada. Sejenak, tangannya membelai rahang gue yang sudah mulai ditumbuhi janggut tipis. Gumamannya sangat lembut. Apa dia bidadari di mimpi gue? Kenyamanan melingkupi atmosfer di sekitar.

Karena gumamannya semakin buat gue terlelap bahagia. Tapi, ada yang aneh dalam gumaman itu. Gue rasa, ada nada kesedihan di sana. Coba gue bisa sentuh bidadari itu, gue hapus air matanya. Gue kecup kedua kelopak matanya bergantian. Menggumamkan sebuah kalimat yang hanya gue ucapin ke orang yang gue sayang.

"Saya di sini," gue akan menyentuh dadanya dengan telapak tangan. "di hati kamu. Selamanya."

Selanjutnya, gue kecup ringan bibirnya supaya tidak lagi bergetar karena isakannya yang semakin keras. Gue kecup dengan kelembutan. Kecupan tulus dari hati gue yang asli.

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now