07. Pradipta

39.4K 2.3K 15
                                    

Setelah gue mempersiapkan penampilan gue sendiri, dengan kemeja kasual potongan body fit berwarna putih, gue siap ke kantor Mamah. Gue perlu penjelasan dari Naida kenapa dia tiba-tiba aja ninggalin gue. As hell but the sweetness realize, ternyata gue butuh dia! Dan gue baru sadar sekarang ini. Kemana aja ya? Mata gue terbutakan karena Sarah.

Gue melirik jam hitam di pergelangan tangan gue. Dengan kecepatan hampir 100km/ jam, gue menginjak pedal gas dan memecah keramaian ibukota. Enggak peduli kalau ada polisi yang datang lalu memberikan gue surat tilang. Urusan gue bukan ke polisi buncit itu! Fokus gue adalah NAIDA. Istri tercinta gue.

Gue tertawa dalam hati. Berlebihankah ucapan gue tadi? Efek perempuan ke laki-laki itu sangat dahsyat ya? Sama halnya dengan Naida. Efek dia yang menjauhi gue, benar-benar membuat gue makin terpuruk. Kasus gue yang satu aja belum kelar persidangan, udah ditambah dengan urusan rumah tangga gue yang enggak karuan berantakannya.

Tapi, kalau dipikir-pikir... Nasi telah menjadi bubur. Sedangkan bubur, sudah enggak bisa lagi dijadiin bubur. Kalau begitu, gue bakal buat bubur itu menjadi enak saat gue cicipi. Analogi sederhana. Gue menyesal, tetapi dengan usaha keras gue, gue akan membuahkan hasil yang bahagia di ujungnya nanti. Semoga saja.

"Kemana Nyonya Hamzan?" gue bertanya ke resepsionis bagian kantor Mamah gue.

"Nyonya Hamzan sudah pergi ke Anantara Corp sekitar satu jam yang lalu." Si cewek resepsionis senyum enggak jelas di ujung bibirnya. Shit. Dia mau flirting ke gue gitu? Bukannya sok kegantengan atau apa, gue cukup tau mana cewe yang tertarik sama pesona gue.

"Ekhm... terimakasih." Gue mengangguk. Melirik perputaran jam lagi. Satu jam yang lalu? Sekarang saja baru menunjukkan pukul setengah sepuluh, dan kata Mamah pertemuan jam sepuluh. Mereka pergi jam setengah sembilan? Gila. Mamah gue benar-benar on-time. Salut gue! Walaupun umurnya udah enggak muda lagi, Mamah ngajarin gue arti bertanggung jawab.

Tanggung jawab? Seketika darah gue mendesir. Gue mengingat diri gue sendiri yang merasa belum sepenuhnya bisa bertanggung jawab. Ke diri gue sendiri aja belum bisa sepenuhnya tanggung jawab. See, gue masih suka mabuk setiap Ega ajak gue ke bar. Gue masih belum bisa bertanggung jawab atas kesehatan gue sendiri. Terlebih lagi, sejak gue nikah dengan Naida. Tanggung jawab gue jadi double. Gue harus bertanggung jawab atas Naida, istri gue. Kodrat seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab atas apa yang telah dipimpinnya. Kenapa serumit itu ya?

Di parking area, gue lihat mobil Mamah yang dikendarai Pak Kadir. Mobil hitamnya sudah siap melaju meninggalkan basement.

"Stop!" gue mencegat tepat di depan mobil.

"Pradipta!" Mamah berteriak seraya menghampiri gue. "Kamu kenapa sih?"

Mata gue celangak-celinguk untuk menemukan sosok Naida. "Naida kemana?"

Mamah menyunggingkan senyuman yang seperti menahan ketawa. Eh? Gue salah ngomong mungkin ya? Apa rasa khawatir gue keliatan banget sama Mamah?

"Naida lagi lunch bareng sama kolega Mamah. Kamu mau nyusul dia?" gue mengangguk. "dia lagi di restoran seberang."

Tanpa pikir panjang, gue buru-buru berlari ke seberang. Melewati jembatan penyebrangan yang saat itu sedang padat-padatnya oleh karyawan yang berlalu-lalang.

Seorang pelayan menyapa dan mengantar gue ke meja yang kosong. Mata gue terus mengintrogasi ke seluruh ruangan untuk mencari keberadaan Naida.

"Meja Anda, Sir." Perempuan itu mempersilahkan gue. Sir? Apa di umur tiga puluh dua ini gue udah kelihatan tua dan sudah bisa dipanggil bapak? Peduli setan dengan panggilan itu. Naida... Naida... Naida... kemana sih kamu, Sayang?

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now