03. Pradipta

43.3K 2.8K 14
                                    

Kadang-kadang, gue bingung sama Naida. Kenapa dia selalu aja bikin situasi semakin runyam. Gue bisa lihat kalau dia benar-benar mau membangun pernikahan ini seperti layaknya orang lain. Apa dia enggak bisa artiin tatapan gue selama ini ke dia? Apa dia enggak bisa sama sekali memandang gue layaknya orang asing setiap gue bersikap dingin ke dia. Gue enggak bisa dan sampai kapan pun enggak akan pernah bisa ngelupain Sarah. Walaupun sejatinya, cewek brengsek itu udah hancurin hati yang gue kasih ke dia.

Kenapa gue jadi bimbang begini lagi? Gue udah punya tekad kalau gue bakal ngelupain Sarah.

"Santai, Bro. Masih ada istri lo ini" Ega sudah duduk di kursi kosong samping gue.

"Apaan sih lo?" Gue bertanya-tanya sama sikap Ega yang tiba-tiba datang, terus ngomongin tentang Naida. Masih waras?

"Sarah udah punya suami kan?"

Jantung gue langsung berdegub kencang lagi. Ini sudah hampir dua minggu semenjak gue tahu fakta Sarah. Dan yang bikin gue bingung lagi. "Kok lo tahu, Ga?"

Dia tertawa remeh. "Enggak perlu tahu darimana. Yang gue peduliin, lo itu harus lupain Sarah, Dip."

Sejak kapan Ega menjadi bijak seperti itu? Gue batin dalam hati.

"Gue bukan lagi bijak. Gue Cuma ingin lo jadi orang bener." What?

Gue terkekeh sebentar sebelum berkata. "Bicara tidak segampang perilaku."

Gantian dia yang terkekeh. "Gue tahu lo orang baik, Dip."

"Tahu apa lo sama orang baik? Urusin diri lo sendiri yang masih brengsek."

"At least, gue sama lo sama brengseknya."

Gue menggebrak meja di depan gue. Lembaran kertas jadi berserakan ke bawah. "Kalau lo enggak ada perlu, mending lo pergi. Pusing gue!"

Emosi Ega kembali tersulut. Dia narik kerah gue. Tangannya sudah terkepal melayang di udara dan siap kasih gue tonjokan. Fuck Ega! Dia benar-benar ingin cari masalah sama gue.

"Gue enggak tahu apa yang ada di pikiran lo, Dip. Apa Sarah udah cuci otak lo, hah? Bayangin Naida, Dip! Istri lo!" dia memberi jeda sebentar namun tangannya masih mencengkram kerah baju gue. "yang gue tahu, cowok itu enggak akan pernah sakitin hati perempuan. Apalagi istrinya sendiri. Sekarang gue tanya sama lo, Dip. Are you a real men, hah?"

Gue tetep geming. Tangan gue sudah mengepal dari tadi menahan geraman.

"JAWAB, DIP! LO BANCI?"

Bukk...

Tangan gue udah mendarat di rahang Ega. Habis-habisan gue tonjok dia. Sial! Emosi gue benar-benar udah enggak bisa gue bendung.

"Brengsek! Sialan lo!" Mulut gue terus-terusan mengucap sumpah serapah. Sedangkan Ega cuma bisa diam dan pasrah nerima pukulan gue seolah-olah dia itu samsak sampai bikin sudut bibirnya berdarah.

Tangan kekar lain tiba-tiba cekal tangan gue yang udah siap untuk nonjok perut Ega. "Lo apa-apaan sih, Dip."

Akhirnya gue berhenti. Perlahan tapi tegas, gue lepas tangan gue yang sejak tadi mencengkram kerah Ega dan mendorongnya kasar. "Itu belum seberapa, Ga."

Dia menyeka ujung bibirnya. "Pikirin lagi ucapan gue tadi, Dip."

Gue langsung pergi tanpa menjawab ucapan Ega. Dasi yang sekarang gue pakai, seperti tali yang nyekik gue dan gue coba longgarin sedikit. And now what? Enggak berpengaruh apa-apa dengan aliran udara yang harusnya masuk ke paru-paru gue. Kenapa rasanya tertahan di kerongkongan?

Ini bukan pertama kalinya gue berantem karena masalah sepele. Dan masalah sepele itu selalu menyangkut Naida. Cewek yang benar-benar membuat kacau hidup gue. Dan kata itu terus berulang di otak gue.

Deringan ponsel membangkitkan gue untuk segera menjawabnya. Di sana tertera nama Sarah. Tangan gue ragu-ragu menggeser layar ke ikon hijau.

"Hai, Dipta." Terdengar lirihan di seberang sana.

"Gue kira kita udah selesai."

"Gak, Dipta. Kamu enggak akan nerima telepon aku kalau kamu sudah menganggap kita berakhir"

Gue memijit pelan pangkal hidung. "Ada perlu apa?"

"Aku ingin ketemu kamu sekarang. Aku berhutang banyak cerita ke kamu."

"Basi!"

"Dengarkan dulu, Dipta."

"Enggak perlu!"

"Please... ini untuk yang terakhir."

"Telepon ini untuk yang terakhir."

"Dipta, aku mohon. Sekali saja. Aku janji, setelahnya aku akan pergi dari hadapan kamu selama yang kamu mau."

"Sarah..." gue memanggilnya pelan. "Apa lagi yang harus dijelaskan?"

"Sekali saja, Dip." Isakan Sarah terdengar.

Ya tuhan! Ada apa dengan dia? "Oke."

Terdengar kalau dia menyeka hidungnya. "Terima kasih, Dipta. Temui aku di restoran biasa kita. Aku yakin kamu masih ingat itu."

Setelahnya gue memutuskan sambungan dan langsung mengendarai mobil menuju restoran yang menjadi saksi bisu saat dua tahun lalu gue mengungkapkan perasaan gue ke perempuan yang ternyata sudah bersuami.

"Tak perlu ada kata-kata romantis untuk menggambarkan betapa sayangnya saya sama kamu." Gue menggenggam tangannya yang dingin. Matanya bersinar cerah membalas tatapan gue.

Malam itu, matanya lebih cerah dibanding dengan ribuan bintang yang menghiasi langit. Cahaya matanya mengalahkan semuanya dan itu membuat senyuman gue mengembang.

"Selama setengah tahun saya kenal kamu Sarah, saya rasa kalau saya sudah jatuh hati ke kamu. Di setiap saya menggenggam tanganmu, menautkan jemari kita, saya rasa cupid sudah melepaskan panahnya ke saya."

Sarah mengeratkan genggaman tangan gue. Senyumannya ikut merekah.

"Saya jatuh hati ke kamu, Sarah. Would you to be mine?"

Dia mengangguk semangat. Tangannya terulur untuk memeluk gue yang gue balas dengan pelukan hangat. Sehangat tatapan gue saat mengucapkan itu.

Tapi tidak dengan sekarang. Justru tatapan dingin gue pancarkan sesaat melihat Sarah di hadapan gue yang terus menundukkan kepala.

"Cepat ngomong. Gue enggak punya banyak waktu."

Dia mendongak. Di ujung matanya masih tersisa buliran air mata. Jangan lemah, Dipta, batin gue terus mengingatkan.

"Aku minta maaf."

"Gue maafin. Apa lagi?"

"Aku salah sudah bohongin kamu."

"Gue tahu." Kekehan gue membuat dia meremas jari-jarinya sendiri.

"Aku cinta sama kamu, Dipta. Tapi aku enggak bisa ninggallin Ezra," Oh ya? Dasar perempuan medusa! "aku bingung, Dip."

"Kalaupun lo sadar, Sarah. Lo udah berbuat kesalahan fatal."

"Aku tahu. Dan sekarang aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kepalanya kembali menunduk. "aku mau mengakhiri ini dengan baik-baik, Dip."

"Terlambat."

"Jadikan ini makan bersama kita untuk terkhir kali."

Dia menggenggam tangan gue. Anehnya, gue enggak bisa mengelaknya. Tangan gue serasa udah nyaman dan pas saat Sarah mengunci tangannya di gue.

Seolah-olah ada sihir yang Sarah alirkan lewat tangannya, kepala gue mengiyakan dan menerima ajakan makannya kali ini.

Makan bersama untuk terakhir kalinya. Itulah namanya saat ini. Makan dalam diam. Lidah ini tidak berfungsi sebagai mestinya saat mengecap makanan saat di hadapan Sarah. Menelannya pun serasa sangat susah untuk diluncurkan ke lambung. Sebisa mungkin gue untuk terus menunduk dan menghindari tatapan ke Sarah.

Andaikan gue bisa menerimanya, Sarah. Andaikan gue bisa secepat roller coaster untuk bisa ngelupain pengkhianatan yang kamu buat.

Entah darimana, tiba-tiba gue memikirkan Naida. Apa ini yang dirasakan Naida? Sesakit ini ternyata.

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now