10. Pradipta

34.7K 1.8K 6
                                    

Baru setengah jam, gue duduk bersila sambil ngemil makanan ringan yang Naida buatin khusus buat gue. Kata dia, supaya gue semakin semangat buat belajar yang ada di 'Buku Panduan Shalat' warna ungu yang sekarang lagi gue pegang.

"Naida, ini bacaannya apa? Hurufnya keriting semua begini?" Gue lagi les sama Ibu Guru Naida yang gue nobatin sebagai Ibu guru tercantik di dunia.

"Itu bahasa arab, Mas. Bukan huruf keriting." Katanya sambil menunjuk-nunjuk tulisan yang gue maksud.

For your information, walaupun gue cuma sering ngelakuin tiga shalat—Shalat Jum'at, Shalat Idul Fitri, dan Shalat Idul Adha—dan shalat wajib gue masih suka telat, dan bahkan bolong-bolong, tapi gue cukup tahu kalau huruf-yang-gue-sebut-keriting itu adalah huruf hijaiyah. Mulai dari Alif sampai huruf Ya, gue hafal semuanya. Gue tau pengucapannya, dan gue juga ngerti bentuk setiap kata tunggal huruf itu. Namanya juga lagi usaha buat cairin hati Naida, gue berusaha untuk dapet bahan obrolan bareng dia. Sebelum gue buat cairin hati dia untuk nerima gue lagi, cairin dulu jaringan komunikasi kita berdua.

Kenapa gue ngerasa jadi sales kartu operator? But, seriously. Walaupun gue cowok brengsek—lebih tepatnya, laki-laki dalam masa transisi menjadi suami yang tanggung jawab—setidaknya gue enggak akan ngelakuin hal brengsek itu untuk kedua kalinya. Cukup sekali Naida ngerasain kebrengsekan gue. Gue enggak mau lagi untuk mengulangi masa-masa suram itu lagi.

Dari tadi, Naida ngasih gue kuliah panjang tentang huruf hijaiyah. Dia nyebutin satu persatu hurufnya dan menuliskan bentuknya di selembar kertas. Andaikan Naida tahu kalau gue lagi ngerjain dia, apa dia bakal ketawa? Kalau iya, apa perlu gue kasih tahu sekarang? Karena gue perlu ngeliat ketawa lepas dia.

"Naida..." Dia berhenti memberikan perkuliahan Hijaiyah. "saya tahu. Saya hafal. Dan saya ngerti yang kamu jelasin dari tadi!" Gue berusaha untuk ngeluarin Laa yang benar-benar akan membuatnya jengkel.

Tiba-tiba saja Naida memukul lengan gue berkali-kali. Gue sih enggak kenapa-kenapa karena tenaga cewek enggak sekuat cowok. Tapi, yang bikin gue seneng itu, Naida kelihatan kesal sekaligus ketawa. Ada rasa yang beda banget pas gue dengar Naida ketawa. Rasanya tuh kayak beban di pundak langsung terangkat. Efek Naida bikin gue angkat tangan sambil ngibarin bendera putih. Nyerah!

"Kenapa enggak bilang dari tadi, Pradipta?"

"Eits... salah manggil. Pake 'Mas', Naida."

Gue cuma bisa tersenyum geli sebab tingkah Naida.

"Saya mau liat muka bete kamu. Ternyata masih cantik juga ya."

Naida tidak menggubrisnya, ia lalu membolak-balikkan buku yang tengah ia pegang. Lalu berjalan pergi ninggalin gue yang melihat Naida berjalan ke kamar uhuk... kamar kita. Gue jadi cengengesan sendiri. Buru-buru gue ngikutin Naida masuk ke kamar yang belum sadar kalau gue ikutin. Naida mengambil sebuah buku miliknya yang gue gabung dengan buku-buku hukum gue di rak buku. Naida membuka setiap lembarannya, sampai akhirnya terhenti di pertengahan buku. Gue penasaran mau lihat apa yang Naida lihat di buku itu. Tapi, gue masih bergeming di belakang pintu.

Jarinya mengambil sebuah foto yang bergambar potret gue dan Naida. Gue inget, itu adalah foto bulan madu kami di London. Dulu, gue merasa terpaksa pergi berdua sama dia. Kalau bukan Mamah dan mertua gue yang nyuruh, gue enggak akan pernah sudi pergi sama Naida. Bahkan, untuk mengabadikan foto itu, gue dipaksa oleh keluarga. Akhirnya, gue turutin mereka dan pura-pura bahagia dalam foto tersebut. Itupun hanya satu foto selama dua minggu liburan kami. Justru, foto gue dan Sarah yang paling banyak memenuhi memori kamera gue.

"Sayang... kamu ikut aku pergi ya?" gue tengah berbincang dengan Sarah.

"Kemana, Babe? Apa sama istri baru kamu itu?"

Gue melirik Naida yang terdiam di pinggir ranjang. Ia menunduk, tapi gue yakin kalau ia sedang menangis. Volume suaranya gue bikin full, bahkan obrolan kami—gue dan Sarah—di loudspeaker. Supaya Naida tahu, kalau dia bukan siapa-siapa dan enggak sepatutnya dia ada di hidup gue.

"Iya, Sayang. Mamahku mau aku sama dia honeymoon. Aku enggak mau lah pergi cuma berdua sama dia. Kamu ikut ya?"

"Aku mau bangeett!! Tapi jangan sampe mamah kamu tau ya."

Gue tertawa sambil melirik Naida yang bahunya naik turun. "Tenang aja. Kita berangkat lusa, kamu siap-siap ya. Disana lagi musim dingin, jangan lupa bawa coat kamu."

"Perhatian banget sih. Ah... aku jadi enggak sabar."

Naida berdiri dan masuk ke kamar mandi saat aku memutuskan sambungan telepon dengan Sarah.

"Kamu mau makan apa, Pradipta?" tanyanya setelah keluar dari toilet.

"Enggak perlu. Saya mau makan diluar dengan teman saya. Kamu enggak perlu masak untuk saya. Besok saya enggak pulang ke rumah, kamu jangan nungguin saya. Hari keberangkatan ke London, saya bakal jemput kamu ke sini." Gue enggak pernah memandang mata Naida.

"Apa kamu akan bawa Sarah sampai akhir liburan kita?"

"Iya. Memangnya kenapa? Kamu keberatan?"

"Tapi kenapa harus perempuan, Pradipta?"

Gue berjalan ke arahnya, mendongakkan dagunya dan mengelusnya lembut. "Karena dia kekasih saya. Jadi saya berhak membawanya. Kalau kamu keberatan, kamu bisa cancel honeymoon itu dan lihat raut ketidakbahagiaan dari Ibumu." Gue berbisik di telinganya. "apa kamu mau kayak gitu? Im really fine about it."

Naida mendorong gue menjauh, gue terkekeh.

"Kamu enggak pernah ngerasain bagaimana sakitnya aku, Pradipta. Kamu enggak pernah mau tahu dan memang enggak peduli sama perasaan aku. Aku juga manusia seperti kamu yang punya perasaan. Aku bisa merasakan sakit, sedih, marah."

"Kalau begitu, hilangkan perasaan itu saat kamu bersama saya." Gue langsung meninggalkan Naida yang masih mematung di tempatnya.

Saat itulah, gue langsung meluk Naida yang masih meratapi foto kami. Gue enggak pernah absen untuk bilang maaf dan terimakasih untuk Naida. Lagi-lagi kami menangis bersama.

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now