06. Naida

42.2K 2.4K 24
                                    

Kemarin, aku tidak masuk kerja. Sekarang, aku akan kembali kerja setelah semua hal yang menyangkut sakit hati terhadap Pradipta, sudah selesai semua dan hatiku yang sudah hampir normal. Tuntas tanpa perlu diungkit keberadannya lagi.

Mamah Karina menyapaku saat aku duduk di kubikel kerjaku. Beliau memeluk erat tubuhku. Mengelus dan mengahantarkan rasa yang menenangkan seraya mengucapkan kata yang mengungkapkan kalau beliau sangat mengkhawatirkanku.

"Pradipta bilang, kamu sakit. Kenapa udah masuk kerja, Nak?" tanya Mamah Karina setelah melepas pelukannya.

Aku tersenyum dan berusaha menyembunyikan perasaan terkejutku. Jadi, Pradipta berbohong kalau aku sakit dan tidak masuk kerja? Berarti... Pradipta masih peduli denganku. Stop, Naida! jangan terlalu banyak berharap dengan Pradipta.

"Naida udah mendingan kok, Mah."

Beliau menyentuh keningku. "Tapi badan kamu masih anget loh, Sayang. Mamah telepon Dipta aja, ya, biar kamu dijemput terus bisa istirahat di rumah."

Tunggu—jangan, Mah. "Ng—enggak perlu, Mah. Tadi Mas Pradipta bilang, kalau dia sangat sibuk belakangan ini dan enggak bisa diganggu." Elakku.

"Masa dia enggak bisa ngeluangin waktunya sedikit buat kamu sih?"

"Naida enggak apa-apa, Mah. Mas Pradipta juga udah selalu ingetin Naida untuk minum obat." Aku tersenyum.

Mamah Karina membalas senyumanku dan kembali ke ruangannya setelah mengelus pundakku dengan segala macam kekhawatirannya.

Aku menghela nafas pelan. Pradipta, kalau sekarang, aktingku bagaimana? Keren, bukan? Aku meremas dadaku sendiri. Pradipta bilang ke Mamah kalau aku sakit, hal itu membuatku mengingat kejadian saat Pradipta sakit untuk pertama kalinya setelah menyandang sebagai seorang suami.

"Astaga, Pradipta!" teriakku saat melihat seseorang yang sejak tadi menggedor-gedor pintu rumah tak sabaran. Saat aku buka, Pradipta langsung ambruk ke tubuhku. Karena belum terlalu siap, aku juga ikut terjatuh dan tertimpa tubuh Pradipta yang berat. Dengan sekuat tenaga, aku mengangkat tubuh Pradipta dan merangkulnya menuju sofa. Badan Pradipta panas sekali. Aku taksir, panasnya hampir empat puluh derajat celcius.

Buru-buru aku mengambil handuk dan air hangat setelah merebahkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya yang panas, aku kompres dengan handuk perasan air hangat selagi aku berusaha untuk melepas sepatu, kaus kaki, dan melonggarkan dasinya.

Jam dua belas malam, Pradipta baru pulang dan sepulangnya ia, tubuhnya langsung ambruk dan suhu tubuhnya sangat panas. Tak ayal, aku berasumsi kalau Pradipta terlalu memporsir jam kerjanya demi kasus yang ia dan timnya tangani, cepat terselesaikan.  Apalagi, dengar-dengar kalau Pradipta menangani kasus pejabat yang cukup dikenal media.

"Kalau kamu belum sayang sama aku, setidaknya sayangi dulu tubuh kamu, Pradipta." Gumamku sambil mengelus kening pipi Pradipta yang masih panas.

Kalau Pradipta dalam keadaan sadar, aku tidak mungkin bisa mengelus wajahnya seluasa ini. Yang ada, Pradipta bisa marah besar dan menyentak tanganku.

Aku amati wajah Pradipta yang pulas tertidur. Wajah suami yang coba aku cintai. Sungguh damai dan menunjukkan sisi lembut seorang Pradipta.

Aku sentuh kompresannya, dan menggantinya lagi dengan yang lebih hangat. Berharap agar suhu Pradipta kembali normal. Ketika ia sudah bterbangun nanti, aku harap Pradipta tidak uring-uringan seperti orang sakit kebanyakan.

Sampai jam dua pagi, aku menunggu Pradipta. Mengganti berulang-ulang kompresannya, sampai aku akhirnya terlelap di sampingnya dalam keadaan duduk dengan tangan yang setengah memeluk perutnya yang bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak cukup daya untuk memindahkan tubuh Pradipta ke kamarnya dalam keadaan tidak sadar.

Nadipta (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora