11. Naida

35K 1.8K 7
                                    

Aku kembali memasukkan foto jalan-jalan kami ke London dalam rangka honeymoon, memasukannya rapat-rapat ke dalam sebuah box yang berisi masa lalu kita. Itu semua permintaan Pradipta. Dia memintaku untuk mengumpulkan semua benda yang berhubungan dengan masa lalu kami. Tapi tetap saja Pradipta, kalaupun hatiku bisa berbicara, maka ia akan bilang kalau hal itu tidak seratus persen berjalan berhasil karena luka yang diobati, pada akhirnya masih akan terasa sakit jika tidak sempurna diobatinya. Apa kamu sempurna untuk berubah dan mencintaiku, Pradipta?

"Mamah minta kita foto pake latar belakang big ben." Setelah Pradipta memutuskan sambungan teleponnya, ia berkata seperti itu. Aku pikir, itu kemauan kamu. Tapi ternyata permintaan Mamah Karina. Bener kata kamu, Pradipta. Kalau aku jangan terlalu banyak berharap.

"Sarah... tolong fotoin aku sama dia ya." Bahkan kamu enggak mau mengganti kata 'dia' dengan namaku, Pradipta? Perempuan yang bernama Sarah itu menggerutu sejenak, tapi Pradipta langsung memeluknya.

"Cuma sekali aja, kok. Nanti kita lanjut foto bareng lagi ya."

"Janji?" tanyanya. Ia mengangguk.

Lalu Pradipta berdiri di sebelahku, aku bergeser ke samping untuk menciptakan jarak dan berusaha agar bahu kami tidak bersentuhan. Bukankan kamu yang meminta itu, Pradipta?

Tiba-tiba dia menarikku mendekat. "Ayo foto yang mesra." Senyumnya menawan namun penuh kelicikan.

Akhirnya, kami berpose saling berpelukan dengan senyuman palsu tentunya. Bahkan, pipi Pradipta sampai menyentuh pipiku. Aku tidak terlalu senang dengan itu, karena aku sadar kalau itu semua hanya buaian semata. Setelah itu, Pradipta kembali mengamit lengan Sarah dan berjalan mendahuluiku. Sesekali mereka berhenti dan memintaku untuk memotret kebersamaan mereka berdua. Saat itu juga, aku ingin menangis sejadi-jadinya dan melarikan diri pulang ke Indonesia. Memeluk Ibuku yang menanti kehadiran putrinya. Aku rindu kehangatan sebuah keluarga. Aku rindu kesendirianku kalau pada akhirnya saat aku memiliki seorang pendamping, dia tidak sudi mewarnai hidupku bersamanya. Percuma.

"Naida..." Pradipta mengelus pundakku. Aku tersenyum ke arahnya dengan tanganku yang masih memegang kotak kenangan pahit itu.

"Kamu pasti mikirin yang bikin kamu sedih kan?"

Aku menggeleng. "Enggak kok. Sok tahu deh." Aku mencoba tersenyum padanya.

Namun justru dia memelukku begitu erat. "Saya enggak akan pernah bosan untuk ucapin kata maaf, Naida."

Tanganku membalas pelukannya. Iya, Pradipta. Akupun juga tahu itu, tapi entah kenapa aku masih ingin meminta waktu yang lebih. Bahkan lebih dari yang kamu pikirkan, Pradipta.

"Kamu mau ngelupain itu semua?"

"Aku harap aku bisa ngelakuin itu, Mas." Bisikku lirih.

"Saya janji bakal membangun kenangan manis buat kamu. Jadi kamu bisa mengubur kenangan pahit yang dulu saya buat ke kamu. Tapi saya mohon, kamu bantu saya untuk itu. Kamu adalah segalanya bagi saya karena cuma kamu yang bisa ngerubah aku."

"Aku juga enggak mau kalau kita jalan di tempat. Aku juga enggak mau kalau cuma kamu yang berjuang untuk dapetin kesempatan dariku, aku juga menginginkan hal yang sama, Mas. Pernikahan ini akan berjalan kalau kita kerja sama. Kamu cukup yakinkan aku kalau kamu benar-benar ingin mendapatkan itu."

"Janjiku tidak pernah seserius ini pada orang lain, Naida. Kamulah istriku yang seharusnya aku jaga dan aku sayangi."

Aku tersenyum.

"Terimakasih, Naida." Senyumnya tenggelam saat mengecup keningku. Dalam. Pradipta mengalirkan keyakinannya dari kecupan itu. Aku merasakannya yang sampai ke hatiku. Aku merasakan rasa bersalah Pradipta yang juga membuatku semakin yakin dan tidak ragu lagi.

"Besok aku kerja."

Pradipta terdengar antusias, "Aku yang anterin ya, pleasee..." and also with his puppy eyes, aku tersenyum geli.

Anggukan kepalaku semakin membuat sudut bibirnya terangkat. Sorot pandang matanya tak pernah kian lepas dari mataku. Aku jadi grogi dibuatnya. Pradipta memang sudah benar-benar berubah. Sangat meneduhkan.

"Kamu kenapa ngeliatin aku begitu banget sih?"

Dia menggeleng lantas kembali melanjutkan aktivitas sebelumnya. Aku menunduk untuk memutus pandangan, tapi Pradipta berhasil untuk mengangkat daguku. Sekali lagi aku coba, pergerakanku kalah cepat dibanding suamiku itu. Aku jadi heran, kalau Pradipta memiliki gerak refleks yang sangat baik.

"Mas... berhenti deh." Aku kembali bersuara untuk mengingatkannya.

"Saya mau mandang kamu terus kayak begini. Saya mau nebus yang lalu." Ia masih menatapku. Aku mengernyit bingung.

"Maksudnya?"

"Dulu saya enggak pernah mandang kamu. Sekarang saya mau puas-puasin ngeliat kamu. Ternyata rasanya begini ya?"

Tak ayal, kekehanku keluar dari belah bibir yang disambut dengan genggaman erat dari Pradipta. Aku mengelus punggung tangannya.

"Tapi jangan kayak gitu juga, aku jadi ngeri sendiri. Keliatannya tuh kayak kamu mau nerkam aku tau gak?"

Pradipta berdeham sebentar untuk menetralkan tawaannya. "Emang kalau saya mau nerkam kamu, ekspresinya kayak gimana?"

"Ya kayak gitu, bikin aku takut."

"Seperti apa, istriku?"
Aku terkejut setengah mati ketika Pradipta memanggilku dengan sebutan 'istriku', rasanya seperti ada ratusan kupu-kupu yang berterbangan di perutku. Menggelitik tapi aku menyukainya.

"Mau aku sebutin kayak gimana aja?"

Suamiku mengangguk. Entahlah... aku jadi ingin memanggil Pradipta dengan sebutan suamiku. Jadinya klop saat ia menyandangku dengan kata istriku, aku menobatkannya dengan sebutan suamiku.

"Kalau mata kamu enggak kedip-kedip kayak lagi ngincar mangsa, terus ditambah sama bibir kamu yang senyum-senyum penuh misteri. Kayaknya kamu cocok jadi aktor deh, Mas."

Pradipta terbahak mendengar beberapa alasanku. Aku semakin mengernyit keheranan.

"Gimana kalau kita buktiin sekarang?" ia berdecak pelan.

"Buktiin apa? Aaaaa...!!!"

Belum menjawabnya, Pradipta sudah menggelitiki perutku. Aku sampai terbahak dan meminta ampun padanya. Tapi ia bilang, kalau itu adalah bentuk terkamannya kepadaku. Semakin Pradipta melancarkan aksinya, aku semakin terbahak dan terus meminta ampun padanya.

Beginikah rasanya memiliki pasangan yang telah menghalaliku dan aku cintai? Karena aku sampai tak dapat mengingat apapun selain Dia yang menciptakan suamiku.

Nadipta (Completed)Where stories live. Discover now