Kotak Rahasia

629 52 12
                                    


Langit-langit kamar memenuhi pandangan mata coklat wanita itu, jam besar disudut kamarnya sudah menunjukkan pukul satu dan Lena belum juga bisa menutup matanya. Setiap kali ia mencoba tidur, bayangan kejadian tadi malam terus menghantui pikirannya. Bukan tentang dirinya yang hampir saja diperkosa tapi bayangan pengorbanan lelaki yang sekarang sedang terbaring lemah di ruangan depan kamarnya. 

Aku Edmund, lelaki yang dulu pernah dihancurkan kekasihmu, Justin.

Lena memiringkan tubuhnya yang terlentang, memegang ujung selimutnya keras. Ucapan lelaki yang bernama Edmund membuat kegusarannya malam ini bertambah, bagaimana bisa lelaki itu mengenalnya, lalu mengatakan ia pernah dihancurkan oleh kekasihnya dan orang itu adalah Justin.

"Aku benar-benar bingung dengan semua ini." lirih Lena pelan.

Ia menghebuskan napas gusar kemudian memposisikan kembali tubuhnya dalam posisi terlentang. 

Tidak, Edmund! Jangan berani dekati dia.

Lena kembali menghayal, kali ini sosok lelaki itu muncul dalam benaknya. Sosok lelaki yang sudah lemah dan berlumur darah tapi tetap saja mencoba melawan untuk melindungi dirinya. Saat itu ia tak habis pikir kenapa Justin bisa senekat itu hanya untuk menyelamatkan dirinya tapi bukankah lelaki itu selalu datang saat dirinya membutuhkan pertolongan?

Saat dia terjebak hujan di pos satpam kantornya.

Saat dia mengalami sakit kepala luar biasa seusai pesta penyambutannya.

Dan sekarang, saat dia hampir saja kehilangan kesuciannya.

Membayangkan hal-hal itu, sudut-sudut bibir Lena terangkat naik; membentuk senyuman indah diwajahnya yang menawan. Entah dirinya yang tak menyadari atau menampik hal itu, tapi Justin selalu ada untuknya. Kapanpun. Lelaki itu juga yang bisa membuat dirinya begitu nyaman walau tanpa perhatian dan kasih sayang, Justin punya sihirnya sendiri. 

"Oh, Tuhan! Justin." ucap Lena saat menyadari ia belum melihat keadaan lelaki itu sejak tadi. 

Setelah berpikir sejenak, wanita itu memutuskan untuk melihat keadaan lelaki itu. Perlahan dengan hening ia melangkah menuju kamar lelaki itu, membuka kenop pintu dengan pelan dan masuk tanpa menimbulkan suara.

Ditatapnya lelaki yang terpejam lelap diatas ranjang, terlihat bekas-bekas lebam dipipi dan goresan yang masih terlihat membengkak walau sudah diolesi ramuan tradisional oleh para tabib. Justin bergerak, membuat selimut yang menutupi tubuhnya menjadi tersingkap dan menampilkan tubuh bagian atas lelaki itu terlihat. Lena menahan napasnya sekejap, diperut lelaki itu terlihat lebam yang begitu besar. Wanita itu menatap lelaki itu iba, luka-luka ini bisa saja tidak bersarang ditubuhnya jika lelaki itu tak menolongnya.

"Terimakasih, Justin." 

Lena mengambil selimut lelaki itu lalu menyelimutinya dengan pelan. Wanita itu berbalik hendak kembali ke kamarnya tapi tangannya dicekal oleh Justin. Lena berpaling menatap Justin, mata coklat keemasan itu terlihat begitu lemah. Cahaya dari mata Justin yang selalu dilihat Lena meredup. 

"Aku membangunkanmu, ya?" Lena bertanya lirih.

Justin menggeleng pelan dengan senyum kecil mengembang dibibirnya, "Temani aku."

Lena terdiam, tak memberi jawaban. Bibirnya diam namun tubuhnya tidak, wanita itu berbalik dan duduk dikursi tepat disamping tempat tidur Justin. 

Sesaat, kedua sejoli itu hanya saling menatap satu sama lain, sebelum akhirnya Lena kembali membuka suara, "Bagaimana keadaanmu?"

"Seperti yang kau lihat." sahut Justin seraya melirik kearah tubuhnya.

Lena mengangguk, kemudian kepala wanita itu menunduk. Seolah menyesali semua yang terjadi pada diri lelaki itu. "Terimakasih, Justin. Seandainya tidak ada dirimu, aku pasti---"

Lena Lee : When You Comeback[2]Where stories live. Discover now