Awal Skenario

24.8K 1.3K 229
                                    

Pada minggu pertama, Alika berusaha menyesuaikan dirinya dengan sekolah luas berfasilitas sederhana ini. Masih ada rasa-rasa malas untuk kembali belajar dari kebiasaan liburan yang berlangsung sekitar satu bulan lebih.

Tujuh hari menjadi siswi sekolah Nasional Jaya, Alika sudah memiliki satu teman yang menurutnya klop. Tapi banyak dari teman-teman sekelas Alika mengejek dirinya dengan Pauna mirip angka 10 berjalan. Kalian tahu maksudnya apa?

Alika adalah angka satu. Pauna angka nol.

You know what I mean?

Terlalu sering sehingga Pauna kebal akan ejekan itu.

"Gue bingung banget. Ikut ekskul mana pun, gue tetep ngerasa nggak cocok sama ekskulnya," Pauna mengerucutkan ujung bibirnya, lalu duduk di samping Alika. Mereka duduk di salah satu bangku kantin. "Gue ikut ekskul apa dong, Lik? Kasih saran dong!"

Di sekolah bernuansa abu-abu ini, setiap murid diwajibkan mengikuti salah satu ekstrakurikuler. Alika memilih ekskul sastra untuk dijalani selama dua tahun ke depan. Berbeda dengan Pauna. Sudah lebih dari tiga kali mengganti-ganti ekskulnya. Hanya karena merasa tidak cocok menjadi anggota.

"Ikut kayak gue aja. Udah gue bilang juga dari awal. Ekskul sastra itu kalem. Gak heboh. Anak-anaknya mayoritas pendiem. Jalaninnya juga santai," Alika kemudian melahap bakso dari mangkuk berisi kuah hangat di hadapannya yang ia pesan di istirahat jam kedua ini.

Ekspresi Pauna berubah cepat menjadi bete. Kelihatannya memang cewek hobi makan yang satu ini tidak menyukai semua hal yang berbau sastra. NEM bahasa Indonesianya saja 6. Justru matematikanya yang tinggi.

"Gue juga udah bilang dari awal kalau nggak mau gabung ekskul culun itu. Yang lebih eksis dikit gitu, Lik. Kayak cheerleader atau basket," jelas Pauna tak santai.

Alika cekikikan. Terdengar ada suara maksud mengejek dari tawanya. "Milih ekskul itu juga harus tahu diri, Pauna!" Alika semakin terbahak.

Namun, kegirangan Alika dalam rangka menertawai Pauna yang tidak tahu diri dalam memilah-milih ekskul mendadak terhenti ketika ada salah satu siswa dari bangku kantin di sebelah pojok sana. Ia terlihat tidak senang dan menatap sinis.

"Berisik amat lo, mata empat! Nih kantin bukan punya kalian berdua!" teriaknya dari kejauhan, hingga setiap murid yang mendengar sorakannya itu tertawa kecil memandang geli ke arah Alika dan Pauna.

Alika tidak tahu siapa cowok yang memarahinya.

"Dimarahin Kak Amar kan jadinya. Malu-maluin banget," Pauna berbisik sedikit menghentak. "Lo sih, Lik. Pendiem tapi sekalinya ketawa udah kayak pakai toa."

Kak Amar.

Nama yang sudah tak asing lagi didengar oleh seluruh peserta didik sekolah ini. Siapa yang tidak mengenal Amar?
Cowok futsal yang masuk ke barisan eksis alias kasanova sekolah ini karena Amar sering bergaul dengan jagoan kelas 12. Amar juga pernah menang olimpiade matematika satu kali. Ya, pelajaran angka itu adalah mata pelajaran kesukaannya. Tapi tetap saja, Amar masih belum maksimal pada mata pelajaran lain.

Selama ini Alika hanya sering mendengar nama 'Kak Amar' disebut-sebut, tapi tidak tahu seperti apa wajah dan tingkatan kelasnya.

Alika dan Pauna kembali ke kelas X-2 IPA setelah bel berdering menandakan kembali masuk untuk memulai jam pelajaran terakhir.

***

Seperti biasa. Amar dan teman-teman satu gengnya berkumpul di seberang sekolah. Karena terdapat warung di sana.

Topik pembicaraan kali ini, Amar tengah diagungkan karena berhasil menggebet cewek kelas XII, Melisya. Sang primadona sekolah. Blasteran Turki dan tubuh ideal nan bulu mata lentiknya lah yang semakin menjelalatkan kedua bola mata kaum lelaki jika memandangnya.

"Gila lo, Mar. Melisya aja bisa klepek-klepek kena modusan lo. Anjay bener!" Fahmi bertepuk tangan tanpa berkedip, saking kagumnya. Bagi mereka, mendapatkan Melisya adalah sebuah tantangan berat.

Selain menjabat sebagai ketua ekskul dance di sekolah, Melisya juga berstatus sebagai mantan Aksa, ketua OSIS yang sekaligus menggenggam jabatan ketua ekskul fotografi. Dirinya juga seorang model di beberapa majalah. Gadis yang sangat langka untuk ditemukan kembali. Kesempatan emas jika sudah berhasil membuat Melisya tersenyum ramah. Ada luang berharga supaya bisa meluluhkan hati gadis berambut ikal mengembang itu.

Amar kini tertawa penuh rasa bangga di depan satu gengnya. Tidak hanya kelas sebelas yang berkumpul, ada beberapa jagoan dari kelas dua belas, seperti Vano dan Rafli.

"Kok Melisya bisa naksir sama lo, ya? Aneh," celetuk Vano menunjukkan rasa tak sukanya atas berita hangat tersebut.

Amar yang sedari tadi menanggapi candaan teman yang lain, sekarang melemparkan tatapan tajam pada Vano. "Iri, Van? Gantengan gue daripada lo." Amar terbahak.

"Kalau lo ganteng, berarti lo bisa menaklukan semua cewek di sekolah." Vano memiringkan senyumnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Amar sempat hening sebentar. Menerka kata-kata yang keluar dari mulut Vano barusan.

"Bisa lah."

Anak-anak lain hanya menyimak kedua temannya itu berdebat melawan berisiknya suara ramai jalan raya.

"Kalau gitu, coba lo jadian sama si culun anak kelas sepuluh," alis Vano terangkat satu, mukanya menantang.

Amar memang tidak mengenal semua anak sepuluh. Apalagi, mereka semua baru seminggu menimba ilmu di sekolah Nasional Jaya.

"Yang mana?" Amar mengernyitkan dahi penuh tanya.

"Kalau nggak salah, namanya Alika Zahara." Vano kembali memperjelas.

Tiba-tiba saja pupil mata Amar yang hitam pekat terbelalak hebat. Mulutnya terbuka lebar. Ia baru menyadari siapa 'Alika' itu.

"Alika?! Ya elah. Cewek kayak dia, gue ajak ngomong dikit juga pasti baper. Lo ngasih tantangan yang bener aja dong, Van." Amar menepuk bahu Vano keras sembari tertawa renyah.

Amar sepakat. Malah fikirnya, mengajak Alika berpacaran adalah sebuah permainan tingkat anak TK. Tak beda dari mudahnya menemukan jawaban satu tambah satu (1+1). Vano ingin Amar memiliki status dengan gadis berkacamata itu selama 3 hari.

Permainan ini memang tak pernah hilang dari kelompok mereka. Menerbangkan hati perempuan, lalu menjatuhkannya kembali. Seolah sudah menjadi permainan seru dan kebiasaan abadi dari dalam diri mereka.

Amar berlari menyeberangi jalan raya dari warung depan sekolah kembali masuk gerbang sekolah.

Matanya menemukan gadis yang tengah dicarinya. Alika sedang duduk menunggu jemputan di depan lobby. Sesekali perempuan yang sangat amat menyukai novel itu melirik jam tangan putih yang melingkar pada pergelangan tangan.

Kini Amar berdiri tepat di depan Alika. Wajah bersih dan kening penuh keringat yang semakin menambah tingkat ketampanannya terpampang jelas oleh Alika, meski harus mendongak sedikit. Alika bergeser ke kiri, Amar menghalanginya. Alika bergeser ke kanan, Amar mengikuti gerak Alika yang sekarang mendengus kesal atas perilaku tak jelas cowok langganan tanpa dasi ini.

"Gue Amar, kelas XI-5 IPA." Amar menjulurkan tangan kanannya. Namun, Alika tidak membalas juluran itu. Ia malah diam tak berkutik.

Amar menekuk kakinya sedikit, mengintip Alika yang tertunduk takut di hadapannya. "Lo kenapa malah nunduk? Gue ajak kenalan juga."

AdaptasiWhere stories live. Discover now