Langkah Awal?

7.6K 985 267
                                    

Alika menggeram di tempatnya. Kemudian melangkah kesal keluar kelas. Disusul Pauna sambil sesekali melirik Amar ragu-ragu.

"Alika! Tungguin gue!" pekik Pauna yang sedikit susah berlari cepat menyusul Alika.

Alika tidak peduli. Hatinya panas. Begitu pula fikirannya. Buyar kemana-mana. Rasanya ingin sekali menampar seseorang, tapi bingung siapa yang bisa dijadikan korban. Hanya memendam dengan mengepal kedua telapak tangan, dan berteriak dalam hati di lorong koridor yang agak sepi. Sepi karena lorong itu ramai jika jam ekskul berlangsung. Ada ruang kelas sastra, klub bahasa inggris, klub sains, dan tari daerah.

"Alikaaa! Lo cepet banget sih, larinya. Gue capek tahu kejar-kejaran sama lo. Ih, tega banget!" keluh Pauna menggema lorong koridor itu. Namun tidak ditanggap oleh Alika. Gadis berambut sebahu tetap menggeram dalam hati, pandangannya lurus ke depan. Beribu kata kebencian, ia sebut tanpa terdengar telinga siapapun.

"Lo nggak sopan banget, Lik. Gue nggak suka lo bentak-bentak Kak Amar secara frontal kayak tadi. Mau sebenci apapun lo sama dia, tapi nggak sewajarnya lo marah-marah kayak gitu. Dia kakak kelas kita," kata Pauna bagaikan ibu-ibu yang sedang memberi nasihat pada anaknya.

Alika menutup kedua telinga, matanya ia pejamkan.

"Lik, dengerin dulu kek! Lo bener-bener nggak sopan. Bahkan, gue lagi ngomong aja, lo nggak mau dengerin," Pauna berusaha menyingkirkan kedua tangan Alika yang menutup kedua telinga.

"Sekarang lo ngaku, deh. Siapa yang nulis kertas nggak jelas itu? Dan siapa juga yang tempel?" suara Alika merendah, tapi terdengar mengerikan.

Pauna bungkam.

"Kalau itu bukan Kak Amar. Terus siapa? Gue? Lebih aneh lagi." Alika menambahkan.

Pauna menghela nafas lega.

"Gue yang tulis. Gue juga yang tempel."

Kedua mata Alika membesar. Besar sekali. Seperti hendak keluar setelah mendengar pengakuan sahabat yang sekaligus sebangkunya itu.

"Hah? Jadi, lo pelakunya?" tanya Alika sekali lagi untuk meyakinkan.

Pauna mengangguk lamat.

"Gila lo!" ucap Alika tak menyangka. Ia bangkit dari bangku. "Maksud lo apa kayak gitu? Lo tahu sendiri, 'kan? Gue nggak suka Kak Amar. Lo juga tahu, gue paling nggak suka digituin. Tujuan lo apa, sih, Na?" suara Alika naik satu oktaf dan terdengar lebih kencang sedikit.

"Ya.. Gue cuma mau satuin kalian. Gue mau lo menghargai Amar. Amar galau, Lik. Dia galau gara-gara lo. Lo nggak tahu, 'kan?" kata Pauna pelan.

Alika mengernyit. Seakan ia kurang memahami persis maksud dari ucapan Pauna barusan.

"Lik, lo coba, sesekali respect cowok yang ngedeketin lo. Mungkin udah banyak yang terbaik, tapi malah lo sia-siain." Pauna ikut bangkit dan berdiri di hadapan Alika. Kepalanya harus sedikit mendongak. "Gue juga nggak ada maksud apapun. Gue bahkan nggak bakal ngira kalau kenyataannya malah jadi begini."

Mendengar perkataan Pauna, membuat hati Alika bergerak 5%. Yah..walaupun hanya sedikit, lama-lama bisa jadi bukit. Kejadian ini juga tidak Pauna khusus persembahkan untuk Amar, tapi untuk pelajaran juga supaya di pengalaman berikutnya Alika lebih pandai menghargai perjuangan cowok yang mengejarnya mati-matian.

"Kalau cowok itu emang yang terbaik buat gue, dia nggak mungkin pergi dan ninggalin. Kalau dia nyerah dan hilang gitu aja, ya berarti dia bukan yang terbaik." Alika membenarkan.

Pauna memahami sejenak jawaban Alika.

"Tapi, kalau setiap cowok baik deketin lo, terus lo sia-siain, dan dia juga males karena selalu lo cuekin, bukannya itu sama aja kayak orang yang ngasih hadiah ke lo, terus lo tolak?" Pauna masih membela argumennya.

AdaptasiWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu