Prediksi

8.1K 944 337
                                    

"Nggak usah ngomongin cewek dulu lah. Mending lo nanyain lanjutan Naruto episode terakhir. Atau nanyain es krim limited edition di mekdi gitu." Amar berusaha mengalihkan topik karena memang sedang tidak ingin membicarakan atau memikirikan gadis kacamata yang selalu ia sebut 'sok jual mahal' itu.

"Otak lo emang nggak pernah berfaedah, ya, Mar?" Ghani tertawa renyah.

Tamu sekaligus karib lama Amar tidak bermain hingga malam. Sebagai lelaki yang beretika, Ghani pulang pada sore hari. Setelah sholat Asar di rumah Amar. Dan besok, Ghani akan berangkat ke sekolah bareng Amar lagi.

Nggak, kok. Mereka nggak boncengan. Naik motor masing-masing.

Mengapa Ghani mendaftar satu sekolah dengan Amar?
Karena selain bagus dan terpandang, orangtua Ghani sudah tergiur duluan saat Mamanya Amar seolah mempromosikan sekolah Amar. Entah ada tujuan apa, terlalu kukuh ingin Ghani dan Amar menimba ilmu SMA di tempat yang sama. Lagipula, orangtua Ghani juga sudah tak ingin ambil pusing mencari sekolah yang bagus untuk putra mereka.

***

Dua motor dengan ukuran yang berbeda, mematikan mesin ketika sudah berhasil memarkirkan motor mereka di parkiran. Ghani melepas helmnya. Tidak dengan Amar. Sejujurnya, Amar paling tidak suka menggunakan helm jika hanya ke sekolah. Hanya dibawa tapi tidak dipakai. Dipakai kalau melihat ada polisi di lampu merah atau jalan raya. Setelah itu, ia lepas lagi. Gerah katanya.

"Gue nggak sabar belajar di kelas baru," Ghani tersenyum tipis memandang bentuk gedung sekolah di hadapannya sekarang.

"Kelihatannya emang menggoda, Ghan. Tapi kalau lo udah kenal guru-gurunya, pengen gue colok aja rasanya." Amar merapikan kerah seragamnya yang selalu tanpa dasi.

Mereka berjalan santai, melewati lapangan yang sudah ramai banyak anak basket bermain.

Langkah Amar terhenti mendadak. Tercekat melihat sosok gadis yang akhir-akhir ini berkeliaran di fikirannya, tengah berkumpul bersama anak cheers yang lain di pinggir lapangan.

Penampilan Alika sungguh jauh berbeda!

Alika tidak memakai kacamata, bagian lengannya dilipat, rok Alika yang kemarin masih di bawah lutut, sekarang selutut. Sepatunya tidak hitam atau putih yang biasanya lagi, hari ini dia menggunakan warna biru pastel untuk sepatunya.

Amar mengucak matanya berkali-kali, tapi benar. Yang ia lihat memang Alika. Bukan orang lain.

"Ini gue yang bego atau gimana, sih?" Amar menggaruk-garuk kepala, kebingungan sendiri di tengah lapangan. Rupanya, Ghani sudah berjarak jauh. "Eh, Ghani! Tungguin gue, dasar!"

Saat Amar sudah menyamakan langkahnya di samping Ghani, ia berucap sambil melirik kelas di dekatnya, "kelas lo disini. Sebelas-enam IPA."

"Ooh, disini," ujar Ghani tersenyum simpul menatap kelas barunya.

"Selamat belajar, selamat bersenang-senang. Udah tahu letak toilet laki-laki, belum? Gawat kalau lo kebelet tapi nggak tahu dimana toilet. Nanti jadi GGTN," pertanyaan Amar sungguh membingungkan sosok macam Ghani.

"GGTN apaan?" Ghani mengernyit.

"Ganteng-Ganteng Tukang Ngompol."

Depan kelas XI-6 IPA malah menciptakan keramaian sendiri oleh dua orang itu. Tidak ingin berlama-lama, Ghani pun masuk ke dalam kelas barunya.

Amar juga tidak mampir ke kantin atau kemana-mana dulu. Ia langsung menuju kelasnya. Lagipula, sekitar 5 menitan lagi bel masuk akan berbunyi.

Tapi tujuan Amar jadi melenceng ketika Alika lewat di belakangnya bersama anak-anak cheers lain. Tanpa fikir lama, Amar langsung memanggil nama gadis berambut sebahu itu.

AdaptasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang