Niat

7.4K 958 447
                                    

Amar sadar, kali ini semua ia lakukan bukan karena taruhan lagi. Tapi, nyatanya memang tulus. Bagaimana bisa? Amar menyukai Alika. Pada awalnya, semua tidak ada rencana seperti ini. Awalnya, Amar tidak mengenal Alika, bahkan tidak tahu Alika yang mana dan siapa. Awalnya, Amar benar-benar murni tidak ada rasa pada gadis berambut pendek ini. Namun, jika Tuhan berkata lain, semua bisa saja terjadi. Seperti perasaan Amar sekarang contohnya.

Selama jam pelajaran berlangsung, Alika tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Di pikirannya hanyalah ada satu nama. Tanpa disebutkan, sudah jelas siapa.
Keberuntungan tidak berpihak pada Alika hari ini, karena ia menempati meja paling depan, tak memerhatikan atau terlihat tidak nyambung saja akan ditegur. Dan ini pelajaran Bahasa Indonesia, bidang yang Alika sukai dan di antara teman sekelasnya, Alika lah yang paling menonjol. Tugas, PR, sampai Ulangan Harian, Alika selalu mencapai nilai terbaik. Terkadang dikalahi oleh Dina, yang juga menguasai pelajaran sastra ini.

"Alika," sahut Bu Ani saat merasa aneh atas sikap Alika yang sedari tadi melamun.

Alika diam saja. Tatapannya kosong. Membuat Bu Ani perlu mendekat supaya murid kebanggaannya itu tersadar dari lamunan.

"Alika," panggil beliau sekali lagi.

Alika kaget. Ia segera menegakkan duduknya. "Iya, Bu?"

Kelas X-2 IPA, masih termasuk kelas yang kalem dan kebanyakan muridnya tidak bermasalah. Hanya ada satu-dua saja, itu pun berkoar jika kelas kosong alias tidak ada guru.

"Ibu perhatikan sejak tadi, lama-kelamaan kamu tidak fokus. Melamun terus. Ada apa, Alika?" tanya Bu Ani lagi, terdengar kekhawatiran saat beliau berucap.

"O-oh..nggak apa-apa, kok, Bu. Hehe," jawab Alika gugup. Karena dirinya tengah menjadi pusat perhatian satu kelas.

"Alika lagi mikirin Amar kali, Bu!" celetuk Ali, cowok yang paling sering menyahut bila ada salah satu teman sekelasnya ditegur.

Sekelas pun jadi pecah dan diramaikan oleh gelak tawa. Tak laki atau perempuan, semua terbahak.

Semenjak Amar dan Alika ke kantin berdua waktu itu, Alika jadi digosipkan yang tidak-tidak. Bahkan sampai sekarang, gosip itu masih jadi hot news.

"Ih, enggak!" Alika membela dirinya. Meskipun ia harus berbohong.

"Amar? Amar kelas sebelas? Yang berisik itu?" seolah Bu Ani tidak percaya mendengar ucapan Ali tadi.

"Iya, Bu! Ya kali Amar kelas sebelah, itu mah culun. Alika 'kan sukanya yang ganteng dan pemes, aseekk," tambah Rian, sekongkolan Ali di kelas.

Alika mendengus kesal. Pauna yang duduk di sebelahnya hanya cengengesan saja. Karena Pauna sangat senang kalau sudah berhubungan atau yang berbau Amar-Alika. Dia tidak akan membela sahabatnya itu dari ejekan Ali dan Rian.

"Alika, kamu pintar, manis, baik, disiplin. Ibu sarankan, kamu pikir baik-baik dua kali, ya. Jangan salah pilih," kata Bu Ani layaknya seorang Ibu yang menasihati anaknya.

Sekelas semakin geli setelah Bu Ani berceramah singkat. Akhirnya, Alika jadi malu di bangkunya. Tak berniat untuk menatap sinis teman-temannya yang duduk di belakang.

Awas aja Rian sama Ali. Ergh. Geram Alika dalam hati.

***

Kebetulan, setelah pelajaran Bahasa Indonesia, waktunya istirahat. Karena pelajaran Bu Ani adalah jam pelajaran kedua setelah mata pelajaran Agama Islam.

Bel berbunyi. Namun, kelas X-2 IPA belum bisa keluar karena harus mencatat PR mingguan yang selalu Bu Ani berikan.

Amar, Davi, Rafli, dan Fahmi jalan bersama di sepanjang koridor, sesekali mereka bercanda dan tertawa. Karena kelas sepuluh terletak di lantai paling bawah dibanding kelas sebelas dan dua belas, Amar menghentikan langkahnya saat melewati kelas X-2 IPA.

AdaptasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang