Definisi Masalah

5.3K 652 238
                                    

Amar menggeleng lemas.

Tangis Alika semakin menjadi-jadi. Ia menarik napas panjang.

"Kak, mulai sekarang, gue mohon, jauhin gue."

Amar mengernyit, semakin mendekat pada Alika. "Lah, kenapa?"

"Gue mau lo jauhin gue." Alika mengelak dan menjaga jarak.

"Cuma gara-gara ini?" suara Amar turun satu oktaf.

Alika malah memejamkan mata tanpa berniat membukanya lagi jika Amar masih berada di sekelilingnya.

"Lik, kita menjauh, nggak akan berpengaruh buat orangtua kita. Mereka nggak peduli," Amar membela dengan satu tujuan agar gadis itu menghilangkan keinginannya untuk menjauh. "Lik, denger, ya. Gue juga nggak rela bokap gue sama nyokap lo. Gue bahkan nggak bisa kontrol emosi gue sendiri ke bokap. Gue bentak dia. Gue juga nggak mau orangtua gue pisah. Gue sayang mereka. Sama kayak lo sayang ke orangtua lo. Gue sama sekali nggak merasa untung sedangkan lo rugi. Nggak, Lik. Nggak gitu."

Alika menyeka air matanya. Berusaha membalas tatapan Amar yang teduh.

"Lik, kita harus kerja sama. Supaya nyokap lo dan bokap gue, nggak jadi tunangan, apalagi nikah. Kita harus sama-sama mikir, bukannya malah musuhan kayak gini. Lo nangis, sedih di kamar, marah ke gue, sama sekali nggak ngubah keadaan. Tapi, cuma ngeluarin emosi lo aja. Sedangkan, waktu terus jalan. Jangan disia-siain." Amar menambahkan lagi.

Alika berdiri, meninggalkan Amar yang masih duduk di bangku lobby sekolah. Menatap kepergian gadis tersebut berlari kecil lalu tak terlihat lagi punggungnya.

***

Alika tidak langsung pulang ke rumah. Ia memilih untuk ke suatu tempat yang biasanya dulu selalu ia jadikan tempat bercerita yang Alika anggap angin, pohon besar, serta air kali yang mengalir sebagai saksi bisu.

Alika memeluk kedua lututnya dan mulai menceritakan keluh kesah yang disimpannya sejak kemarin.

"Kata Nenek, kita harus bersyukur apapun yang terjadi, suka maupun duka. Tapi nyatanya, Alika nggak bisa. Alika hanya bisa bersyukur di saat suka datang. Kalau duka yang datang, Alika pasti nangis. Meskipun nangisnya nggak dilihat orang lain. Baru tadi aja, terpaksa Kak Amar harus lihat. Jujur, Alika malu banget. Makanya Alika malah ninggalin Kak Amar tanpa bilang apa-apa lagi. Alika juga nggak mau, Mama nikah sama Papanya kak Amar. Alika nggak mau jadi saudara tirinya Kak Amar. Nggak mau." Lagi-lagi air mata dari sudut mata Alika berproduksi.

Ketika Alika sedang benar-benar menyampaikan kesedihannya kepada alam sepuasnya, seseorang tiba-tiba duduk di samping Alika. Ikut menekuk kedua lutut, lalu melirik Alika yang masih sibuk mengusap air mata.

"Sedih banget?"

Alika kehilangan kontrol. Ia gugup setengah mati setelah mengetahui bahwa ada seseorang duduk di sebelahnya. Apalagi orang itu adalah kakak kelasnya tak belum lama ia kenal. Ghani.

"Kok.. bi-bisa di si-sini, Kak?" tanya Alika terbata-bata.

Ghani menampilkan senyum simpul khasnya, seperti biasa.

"Gue udah biasa di sini," mendengar jawaban Ghani, tentu Alika terkejut. "Justru gue yang harusnya nanya, lo ngapain di sini?" Ghani masih tersenyum simpul.

"Gu-gue.. ya, kak Ghani lihat sendiri, 'kan?" Alika kembali mengusap pipinya yang masih basah akibat tangisan tadi.

"Apa yang lo tangisin?" Ghani mengubah posisi pandangannya. Kini ia menatap ke depan, tepatnya menyaksikan tenang aliran air sungai yang jernih.

AdaptasiWhere stories live. Discover now