Sulit Untuk Tersenyum

6.4K 769 300
                                    

"Halo, Ma? Mama lembur lagi?" Alika memeluk gulingnya erat dalam kegelapan kamar yang sengaja ia matikan seperti malam-malam biasanya saat hendak tidur.

"Iya, sayang. Kamu tidur aja, ya. Nggak usah tungguin sampai Mama pulang. Seperti biasa," jawab Ranti yang hanya bisa Alika dengar lewat via suara.

Selalu begini. Bahkan sudah menjadi kebiasaan baru Alika---tidak menyambut kedatangan Mamanya pulang kerja. Di pagi hari, Alika berangkat, Ranti pasti sedang mandi. Tiap harinya selalu terulang seperti itu. Hanya Sabtu-Minggu saja Alika bisa melihat wajah Mamanya secara empat mata, itu pun kalau wanita paruh baya tersebut tidak pergi dan sibuk mengurus urusan lain. Menjadi anak yatim, sungguh keadaan ini sangat berat. Alika merindukan kala orangtuanya masih sering menghabiskan waktu bersama di rumah. Meski di hari sekolah sekali pun.

***

Pagi-pagi sekali, Alika sudah hadir di sekolah. Ia enggan sarapan pagi ini. Nafsu makannya hilang ketika mengetahui Ibu yang selalu Alika panggil 'Mama' itu harus pulang malam lagi hari ini. Langkahnya pelan, menyusuri lorong koridor sekolah yang masih sangat sepi. Bahkan, kabut pagi bisa Alika lihat jelas di udara dan embun pada jendela kelas-kelas. Semalam hujan deras, mungkin itu lah penyebab suhu pagi ini dingin sekali.

"Sendirian aja," goda seseorang dari belakang Alika.

Amar.

"Kok tumben, Kak, udah dateng?" Alika terheran-heran. Memang ini aneh. Biasanya Amar telat, dan kalau tidak telat juga pasti datang 5 menit sebelum bel masuk.

"Kenapa? Nggak boleh gue dateng jam segini?" Amar berusaha menjajarkan langkahnya di samping Alika.

"Boleh lah, Kak. Boleh banget."

Amar terkekeh. "Padahal tadinya gue mau dateng lebih pagi sebelum lo dateng. Taunya lo udah dateng duluan."

Alika hanya menanggapi dengan senyuman tipis tanpa menatap Amar sedikit pun.

"Nggak mandi, ya?" pertanyaan Amar memancing Alika untuk melirik sedikit.

"Mandi. Masa nggak mandi? Gue 'kan cewek," diam-diam Alika mengendus beberapa bagian tubuh yang dicurigakan.

Melihat sikap Alika yang takut dituduh belum mandi, Amar jadi terbahak sendiri. Gemas lihatnya.

"Lo kenapa, Lik?" tanya Amar tiba-tiba, memandang wajah gadis di sampingnya penasaran.

Alika menghentikan langkahnya. "Kenapa?" lalu membalas tatapan Amar sejutek mungkin.

"Beda aja gitu. Lagi galau?" Amar mengangkat satu alisnya.

"Nggak tuh."

"Bener?"

"Beneran," Alika sedikit menekan suaranya.

"Serius?"

"Seribu rius."

"Demi apa?"

"Iihh," Alika kesal.

Amar tertawa lagi. "Nanti pulangnya gue anterin. Mau nggak?"

Alika mengangguk. Setelahnya, Amar menjawab dengan oke. Kebetulan Alika juga sudah tiba di depan kelasnya.

Amar tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Untuk detik ini, Amar juga bisa bersyukur, karena dikit demi sedikit, ia bisa menebak apa yang Alika rasakan dan apa yang Alika mau. Baru kali ini juga, Amar merasa puas bisa dekat dengan cewek yang pikarannya sulit ia tebak dan hatinya pun susah dicairkan.

AdaptasiWhere stories live. Discover now