Abu-abu

9.2K 1K 247
                                    

"Gue anter pulang lagi aja, mau nggak?" alis Amar terangkat satu.

Dengan lantang, Alika menolak mentah-mentah tawaran jinak itu. Ia segera meninggalkan minimarket dan naik ke salah satu angkutan kota yang kebetulan lewat di depannya.

"Anjir, gue salah apa sih sama dia?" Amar berdecak.

Lelaki dengan kemeja seragam dengan dua kancing dari atas sengaja terbuka sehingga kaus hitam di dalamnya terlihat, yang semakin membuatnya terlihat keren dan tampak seperti jagoan. Amar kembali masuk ke mini market, membeli susu dan beberapa kebutuhan keluarganya di rumah.

***

Alika tengah di hantui perasaan penuh bimbang dan degupan jantung yang sedari tadi tidak bisa berdebar normal. Sesungguhnya ia sangat membenci keadaan yang begini. Rasa yang selalu ia hindari sejak SMP. Alika tidak pernah menyukai laki-laki hingga lulus sekolah menengah pertama. Jadi, tak heran jika Alika gelisah diperlakukan Amar sedemikian rupa. Alika juga tahu, cinta di masa sekolah mayoritas akan berakhir tragis atau menyakitkan. Anggapan itu pun Alika jadikan peringatan setiap saat ia didekati cowok atau merasakan sedikit getaran di hati yang menguasai dirinya.

"Halo, kenapa? Pasti lo lagi galau kan, Lik?" sapa Pauna ketika Alika menghubunginya duluan.

"Tau dari mana?" bibir Alika menekuk turun.

"Tau dong. Kan biasanya lo telfon gue kalau lagi ada butuhnya doang," jawab Pauna frontal.

"Pau, kenapa, ya? Kak Amar kayak berusaha banget buat bisa deket sama gue. Gue risih, Pau." Alika meremas gulingnya gemas.

Terdengar sorakan takjum dari sana. Pauna kegirangan sendiri. Entah apa yang dimaksudnya. Tidak tahu ia bahagia atau hanya kaget sesaat.

"Alika! Lo itu bego atau gimana sih? Dideketin Amar malah gelisah. Jangan bilang kalau lo mau minta tolong supaya Amar ngejauhin lo?"

Gadis beralis tebal dengan hiasan kacamata yang semakin memperdewasa wajahnya ini jadi gugup. Seperti bukan Alika yang dulu. Alika berubah 180° saat masuk ke SMA.

"Iya, kan?! Ya ampun. Kok gue punya temen begini banget, ya? Dideketin cogan malah mau ngejauh. Ya Allah," Pauna heboh dan greget sendiri menghadapi sikap Alika yang belum bisa berubah dalam menyikapi laki-laki.

Ditambah, Pauna ini termasuk siswi kelas sepuluh yang mengagumi sosok Amar. Bayangkan saja, betapa kesalnya dia melihat Alika, sahabatnya sendiri, yang mendapat kesempatan besar untuk bisa menaklukan hati kakak kelas keren itu, malah disia-siakan begitu saja. Seolah Amar itu adalah siswa biasa yang bisanya modusin adik kelas.

"Pau, gue rela deh, Kak Amar buat lo, yang penting dia jauhin gue. Please," ucap Alika lirih.

Pauna memotong. "Seenak jidat lo ngomong Amar buat gue. Emangnya dia mau? Dia maunya sama lo berarti. Harusnya lo bersyukur dideketin dia. Semua cewek di sekolah nunggu berabad supaya Amar ngajak mereka pulang bareng. Sedangkan lo? Malah minta jauhin. Ih, apa banget," jelas Pauna panjang lebar meski terdengarnya ketus.

Alika semakin sulit untuk bisa tersenyum.

"Gue nggak mau bantu ngejauhin Amar dari lo. Lo sesekali harus belajar menghargai perasaan orang yang ngejar lo. Jangan jual mahal. Mau sampe kapan lo tolak cowok-cowok yang deketin?"

Alika tidak punya jawaban. Karena entah sampai kapan ia akan terus begini.

"Intinya, gue dukung lo sama Amar seratus persen. Jangan ngeluh, jangan galau. Nggak baik." Pauna menutup telfonnya.

Kini, Alika benar-benar harus menerima kenyataan. Tanpa Pauna, ia tidak bisa bertindak. Karena di sekolah, baru Pauna yang sangat ia percaya dan benar-benar mengerti perasaan Alika. Tapi untuk kali ini, Pauna sengaja membuat Alika tersadar dari sikap buruknya itu. Sikap yang terlalu menutup diri di hadapan orang lain. Bahkan, suka memilah-milih harus bergaul dengan siapa. Semua itu adalah hal yang Pauna benci dari seorang Alika.

Alika hanya memeluk guling erat-erat. Berbagai cara ia fikirkan dari sekarang, cara supaya Amar bisa menjauhinya tanpa harus mengatakan yang sejujurnya bahwa Alika tidak suka bila Amar mendekat seperti hari-hari kemarin.

Meja kantin sebelah pojok, sebagian disinari matahari pagi meski udara terasa menusuk tulang-tulang, membekukan tiap ujung jari-jari. Namun, jaket hitam yang menyelimuti badan serta lengan Amar, mengurangi dinginnya fajar. Tapi, tetap saja hangatnya jaket itu tidak dapat melelehkan kebekuan hati Amar pagi ini.

"Van, lo menang." Amar berucap pelan.

Vano tidak mengerti apa arti 'menang' yang Amar maksud. Sedikit dugaan bahwa ini mengait Alika. Tapi, dengan Vano mengernyitkan dahinya bingung, semakin memperjelas dan refleks Amar menjelaskan runtut.

"Pada aslinya, gue nggak naksir Alika. Dan menurut gue, dia bukan cewek gampangan. Buktinya, gue modusin berkali-kali, dia nggak kebawa perasaan." Amar meneguk sedikit air mineral yang masih terisi utuh.

"Eh, baru kali ini Amar nyerah deketin cewek. Gila. Gue jadi penasaran Alika sebeku apa," sahut Fahmi yang duduk di depan Amar seraya menghisap sebatang rokok.

"Lo udah nembak dia?" tanya Davi penasaran.

Lalu Amar jawab dengan gelengan.

"Kayaknya, Alika betah jadi jomblo," celetuk Rafli sambil belaga berfikir.

Tak lama, Amar bangkit dari bangku kantin, membalikkan badan, dan meninggalkan teman-temannya.

"Mau kemana, Mar?" tanya Davi lagi. Diikuti pertanyaan dari yang lain.

Amar menoleh tanpa menunjukkan ekspresi apapun. "Mau minta maaf ke Alika."

Mendengar jawaban dari lelaki berjaket hitam itu, yang lain sungguh merasakan perubahan pada diri Amar. Mereka tahu, jika Amar bersikap seperti itu, berarti ia memang sedang dihujat bertubi perasaan yang tak enak. Entah itu sedih, kecewa, khawatir, atau marah.

Langkah Amar seketika terhenti di depan ruang OSIS.

***

Hayoo, kira-kira ada apa tuh di ruang OSIS? 🤔

VOTE dan COMMENT supaya aku lanjut lebih cepeett okaayy!

AdaptasiWhere stories live. Discover now