13.2 | Nico Devano (4)

5.9K 226 0
                                    

TIGA BELAS . DUA
❄❄❄

Hari ini, hari dimana ulangan semesteran dimulai. Woah, rasanya sudah tidak sabar keluar dari penjara nusa kambangan ralat, sekolah ini. Cepat cepat kelas dua belas untuk melaksanakan berbagai macam ujian dan lulus lalu langsung wush pindah menjauh dari Rendy.

Aku ingin hidup berbeda di Jerman.

Selembar kertas putih telah di bagikan oleh pengawas ruang sebelas. Yap, aku di ruang sebelas. Dimana banyak yang menatapku sinis dan juga terikan histeris. Apa aku harus menerima semua ini sampai aku pindah ke Jerman? Oke Nico, netralkan pikiranmu, sekarang sedang ujian.

Aku menjawab beberapa pertanyan dan hebatnya hampir semua pertanyaan aku jawab dengan mudah. Woah, gak mau sombong, tapi memang seperti ini.

Sampai di menit terakhir aku kembali memeriksa jawaban jawaban aku yang sudah terhitamkan di selembar kertas putih ini dengan aksen huruf serta lingkaran untuk menaruh jawaban. You know, ini lembar jawaban komputer.

Semuanya selesai sampai waktu yang di tentukan.

Akhirnya, sialan otak gue pengen meledak! Rengekku setelah ujian plajaran bahasa indonesia, agama, sejarah dan terakhir di sambut manis dengan pelajaran ekonomi. Tersiksa kalau seperti ini anak ips, kasihan. Tapi bagaimana jadi anak ipa ya? Matematika ada dua macam, pelajaran ipa di bagi menjadi tiga; fisika, biologi, kimia. Bersyukur jadi anak ips.

Lebih baik aku menginstirahatkan otak ini sehabis pulang sekolah di kantin saja. Mungkin sehabis pulang sekolah kantin sepi seperti horor. Dan aku lebih suka itu.

Hari ini hari pertama ujian selesai di laksanakan. Aku lega, dan langsung menyeruput es teh manis yang sudah berkeringat menambah kehausanku semakin menjadi.

Hanya ada tiga atau empat orang siswa di sini, dan selebihnya penjualan di kantin. Aku duduk di tengah, dimana aku sediri. SENDIRI BRO! Oke, bodo amat Nico. Sudah terbiasa sendiri. Ternyata tata kantin masih sama seperti terakhir aku datang kesini hanya untuk memastikan gadis itu sebagai ketua timku. Hah, memikirkan gadis sinting itu lagi.

"Mas gondrong. hahaha ngakak anjir, gondrong sekarang botak." Suara itu, tubuhku langsung menegang. Berharap bukan gadis yang selalu membuatku risih.

Aku menoleh ke belakang, dimana es gondrong di jajakan.

Untungnya itu hanya temannya saja, dan aku membuang nafas lega.

"Nyari siapa kak?"

Aku hampir saja jantungan akibat dari suara perempuan yang langsung menyeruak di dalam indra pendengaranku. Mataku langsung terpanah melihat kehadirannya, lebih tepatnya sih terkejut. Kapan dia jalan sampai mendekati meja dimana aku duduk? Dan kenapa sekarang dia sedang berdiri di sampingku? Kalau ada kawanannya Maya, mungkin Tassia sudah di cambuk masa, seperti ini.

Mengabaikan pertanyaannya tadi dan aku kembali menyedot es teh manis yang menggiurkan ini, ponsel pintarku juga sedang ku sentuh tidak jelas.

"Gue duduk di sini ya?"

Aku mengangguk tanpa menatap ke arahnya.

"Btw, gue mau ngomong masalah mading." Sehabis duduk, Tassia langsung membuka suara.

"Ngomong aja," jawabku santai.

Tassia menarik nafasnya, dan aku mendengar itu. Sepertinya dia gugup duduk berdua denganku seperti ini sebelum kedatangan Hani dan kami jadi bertiga. "Duduk, Han." Tassia menepukan tangannya di bangku sebelahnya yang kosong.

"Langsung ke intinya, biar gak kebanyakan ba bi bu. Gue apa saya ya yang enak?" Tanya gadis itu.

"Gue aja," balas Hani.

Coldest Senior✔Where stories live. Discover now