44 | Cant Melt!

3.1K 134 9
                                    

EMPAT PULUH EMPAT
❄❄❄

Kehidupan yang hening di pagi hari sabtu. Sepi, tanpa adanya ponsel yang berdering. Hanya detik jam yang ramai bersuara lebih menyenangkan dari pada apa yang gadis manis kira selama ini. Dulu, sama sekali dia tidak ingin jarum panjang jam terus berjalan, tapi kenapa rasanya ia ingin mempercepat suara dalam dinding dan diam dengan adanya waktu yang berlalu, memohon untuk lebih cepat.

Gadis ini rindu, rindu untuk menghabiskan waktu lagi bersama seorang yang mempunyai kastil es. Rindu dengan perasaan nya yang seakan ingin mengutuk waktu untuk dipercepat. Sekarang banding terbalik, dirinya lah yang ingin membuat waktu mempunyai kecepatan lebih.

Angin pagi, mengirim butiran yang mengikat, meminta untuk di perhatikan. Tassia diam bersandar di kursi teras rumah nya. Memandangi setiap butiran bening yang memahami rumput halaman rumah.

Pikirannya melayang layang. Ia tidak sabar, dan tidak tahu sampai kapan ia harus seperti ini. Diam, dilindungi Angin, tanpa adanya pergerakan. Apa yang harus Tassia lakukan sekarang? Seminggu berlalu, dan masih seperti ini dari dulu. Kabar yang Tassia tunggu sama sekali tidak menyapa di pagi harinya akhir akhir ini.

"gue nggak tahan!" rutuk Tassia, kesal dengan dirinya sendiri. Ia berlari menuju kamar nya.

Tidak butuh waktu lama, Tassia keluar dari kamar nya dan kembali lagi berlari cepat. Ia tidak memperdulikan teriak ibunya, sama sekali tidak.

Tassia berlari di kompleknya, memegang erat handuk putih yang masih ia simpan sampai saat ini. Melewati beberapa blok, ini bukan semangat, tapi.. Ah ya perasaan Tassia aneh untuk saat ini.

Ting suara bel rumah Nico. Tassia menyumbulkan kepala nya, mengintip dari sela sela pagar hitam yang membatasi rumah Nico. Tassia melihat ada Mobil hitam terparkir rapih di halaman rumah Nico, Tassia senang bukan main.

Seorang wanita paruh baya menghampirinya membuat gerbang hitam besar dan memperlihatkan begitu luasnya halaman rumah di hadapan Tassia.

"adik ini siapa ya?" tanya wanita paruh baya dengan kain yang masih tersampir di satu bahunya.

Tassia sama sekali tidak pernah melihat wanita paruh baya ini. "hmm.. Itu... Saya temannya Nico."

"oh Vano." jawab wanita dihadapan Tassia. "Vanonya nggak ada di rumah."

"kemana ya, bu?" tanya Tassia penasaran.

"ibu juga nggak tau Vano kemana." jelasnya sambil memperhatikan garis wajah Tassia yang sangat penasaran. "ibu cuman di suruh bersin rumah ini aja."

"oh gitu ya bu, makasih ya bu." Tassia memberi senyum hangat padahal saat ini hatinya sama sekali bertolak belakang dengan rawut wajahnya. "saya pulang dulu."

Wanita paruh baya itu kembali menutup gerbang tinggi yang menjaga rumah Nico. Tassia kembali dengan tangan hampa, sama sekali tidak mendapat informasi apa apa. Tubuhnya seakan lemas, ia menarik nafas dan menghembuskannya berulang ulang.

Berpikir yang baik, Nico masih ada di sini. Oke Tassia, semangat.

Hari ini Tassia memutuskan waktunya untuk Nico. Sudah seminggu Nico sama sekali tidak bisa di hubungi, sama sekali tidak ada jejak kabarnya. Bukan lagi penasaran, tapi Tassia lebih takut dengan keberadaan Nico sekarang.

Tassia mengotak atik ponselnya, melihat banyak pesan yang tidak Nico baca. Tassia selalu mengirim pesan kabarnya setiap hari, tapi Nico sama sekali tidak melihat pesannya ataupun mengirim kabar balik.

Tepat seminggu lagi, hari dimana Tassia berulang tahun. Tassia sangat berharap Nico memberi Tassia ucapan, walaupun hanya melalui pesan singkat yang selalu Tassia tunggu setiap hari.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang