52 | Come back

2.7K 119 8
                                    

LIMA PULUH DUA
❄❄❄

Cowok berperawakan persis seperti Rianto, berdiri dihadapan papanya dengan kepala yang menunduk. Saat ini Nico sangat malas beradu argumen dengan papanya. Setelannya masih seperti tadi hanya saja jas yang sudah ia lepas kini dipegang di tangan kanannya.

Merasakan hawa dingin yang masuk. Rianto bukanlah tipe papa yang menyenangkan kalau berbicara soal perusahaan atau bisnis. Cowok itu berani bersumpah, Rianto jauh lebih dingin dibandingkan dinginnya Nico. Tapi sangat berbeda jika Rianto sudah di kelilingi oleh keluarga.

Nico masih mendengarkan pembicaraan papanya tentang acara yang tadi pagi Nico datangi. Sebenarnya Nico mentulikan pendengarannya sendiri pasalnya ia sangat tidak suka masuk ke dunia bisnis, perusahaan papanya. Nico punya dunia sendiri, yang harus ia bangun sendiri.

Ketukan pintu menghentikan pembicaraan Rianto. Cowok dingin itu melihat ke arah daun pintu, sosok yang tidak ingin Nico lihat muncul di hadapannya sekarang.

Rendy sama rapihnya berpenampilan layaknya orang dewasa yang sangat cocok dengan seumurannya. Kaki proposional itu memasuki ruang kerja Rianto. Cowok berdarah dingin itu tidak ingin melemparkan pandangannya terlalu lama ke Rendy, kembali lagi Nico yang menunduk.

"Kamu ingat Vano? Nama kamu sudah papa atas namakan di perusahaan Jerman. Papa memegang perusahaan yang lain, dan Rendy ... Bagaimana Rendy dengan di Indonesia?" Rianto melemparkan pandangannya kepada putra pertamanya.

"Di rapat tadi Rendy sempat menerangkan bagaimana kerjasama antar negara. Vano juga menjelaskan kelancarannya mengurus perusahaan di Jerman dengan jelas. Vano cukup baik selama ini menangani masalah disana." papar Rendy.

Wajah dingin Nico terangkat. Ia melirik ke Rendy dengan pandangan bingung dan dinginnya. Mengapa Rendy membanggakannya sekarang? Padahal dulu Rendy sangat tidak suka apa yang ditangani Nico. Sampai sampai semua yang di lakukan Nico, Rendy anggap itu buruk.

Mau lo apa sih, Ren?

Selanjutnya ruangan ini hanya didominani oleh pembicaraan antara putra pertama dan Rianto. Nico yang kurang tertarik dengan dunia bisnis atau dunia Rianto, cowok itu cenderung memainkan pikirannya di dalam dunianya sendiri. Bersenandung kecil di sela sela pembicaraan dua orang di hadapannya. Sama sekali Nico tidak menyimak pembahasan mereka berdua.

"Vano?" panggil Rianto.

Wajah cowok dingin itu terangkat dengan pelan. Matanya hampir membelalak. Setidaknya mereka masih ingat kalau ditempat ini masih ada keberadaan Nico yang dengan bosan mendengarkan obrolan mereka berdua tadi.

"Ada apa, Pa?"

"Apa nggak sebaiknya kamu di Jakarta saja?" ucap Rianto yang membuat Nico terkejut bukan main

Kata kata mustahil baginya sekarang terdengar didalam ruangan ini dengan jelas. Apa yang mereka bicarakan tadi sampai Rianto bertanya sedemikian.

"Papa bercanda?"

Rendy menepuk bahu Nico. Tapi cowok dingin itu langsung menghindar, bukan saatnya Rendy memperdulikannya.

Pandangan Rianto kembali tenang. Mungkin sekarang obrolan mereka berubah tentang kekeluargaan. Anak dan ayahnya.

"Papa memang suka bercanda. Tapi kali ini papa serius, Van. Apa kamu mau tinggal di Jakarta lagi?"

"Apa alasan papa nyuruh Vano di Jakarta lagi?"

Rendy diam mendengarkan segala pembicaraan mereka.

"Papa emang nggak punya alasan. Tapi mungkin kamu punya banyak alasan untuk tinggal di Jakarta." papar Rianto, mengingatkan ucapan Vano di Jerman beberapa hari lalu.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang