13.3 | Nico Devano (5)

5.2K 222 3
                                    

TIGA BELAS . TIGA
❄❄❄


Papa menghentikan kegiatannya memberi makan ikan di kolam, dan mengajaku untuk duduk bersantai di teras yang langsung menghadap taman belakang dan kolam renang kecil. Tidak menggunakan bangku ataupun kursi, disini hanya ada alas yang tebal dan beberapa bantal untuk bersantai. Aku duduk bersila menunggu papa yang sedang membersihkan tangannya, tidak menunggu waktu lama papa datang ikut juga duduk sila di sampingku. Ini suasana yang sangat aku rindukan.

Aku merasakan di raut wajah papa yang mulai menua dan capek mengurus dua anak lelakinya yang tidak pernah akur akhir akhir ini. Papa mendengus pelan, memperhatikan iris mataku yang hitam pekat.

"Kamu gak ingin tinggal disini lagi?" Tanya papa yang tadinya sudah bisa tebak akan membicarakan tempat tinggal.

Aku menghela nafas memikirkan apa yang harus aku jawab, "kalau aku bisa nyaman disini. aku bakal tinggal di sini lagi, pa."

Papa terkekeh, apa yang ada dipikirannya? Memang jawabanku tadi mengundang tawa? Apa lucu? Belajar aneh ni papa.

"Papa gak mau obrolan ini terlalu formal, kelihatan kamu jadi tegang gitu kayak lagi di interview." Senyuman yang mengembang akhirnya bisa aku lihat lagi di wajah papa.

"Oh iya pa, Vano udah ada adik belom?"

"Maksud kamu apa nih?" Papa melemparkan pandangan aneh, "jangan bilang kamu mau nikah?"

"Papa," aku memasang tampang datar seketika, papa gak peka juga jadi cowo. "Aku mau adik pa, bukan mau nikah."

"Tapi papa mau nimang cucu, gimana dong?"

"Minta sama ka Rendy lah yang udah berumur. Vanokan masih SMA kelas dua lagi. Yakali mau cepet cepet kawin."

"Paling enggak, tunangan dulu gimana?"

"Papa funnky," jawabku meledeknya.

Suara perempuan menyeruak di telinga sebelah kananku dan langsung meletakan nampan yang berisi secangkir teh dan kue kue yang tadi di bikin bunda.

"Kayak kucing, masuk gak ngucapin salam." Aku hanya menyengir ala kuda dan langsung memenuhi kode bunda, akukan pekaan orangnya. Aku mengambil tangan bunda dan langsung mencium punggung tangannya. "Nah gitu dong,"

"Ada apa Vano kesini?" Tanya bunda dan ikut ikutan duduk nimbrung bersama aku dan papa. Bunda melontarkan pandangannya ke papa.

Papa langsung menyerobot jawab, "Ini si Vano mau ngelamar," reflek, aku langsung menyenggol lengan papa. Ada ada saja alasannya. "Iya kan, Van? Jangan pura pura gak tau. Jujur aja jujur,"

Aku melongo heran mendengar ucapan papa barusan seperti anak muda jaman sekarang, main asal nyeletuk saja. "Papa, tau aja," jawabku tambah konyol lagi.

"Iya, Vano mau ngelamar? Siapa cewenya?" Bunda mendekat lagi.

"Bercanda kali, bun." Aku dan papa tertawa berbahak sehabis membohongi bunda.

Dapat lawakan dari mana ini papa, bisa bisanya. Aku rasa kebanyakan buka instagram atau sering nongol di grup chat alumni sekolahnya jadinya seperti ini. Tidak jelas.

Bunda menghela nafas kecewa dan berujung memakan kue yang sudah hangat.

"Vano mau kemamar ya," pamit ki langsung menyampirkan tas dan berlari kecil menuju kamar miliku yangbsudah lama tidak aku tempati. Mungkin juga sskarang sudah berdebu, kusam, banyak sarang lama laba, bau apek di mana mana. Tidak, itu terlalu kotor dan menjijikan.

Pintu kamar yang berwarna hitam polos sudah berhadapan denganku. Masih seperti lama. Bagaimana dengan dalamnya? Beda? Atau sama? Gak taulah, kota masuk saja sekarang.

Baa!

Aku meloncat pelan seperti mengagetkan sesuatu di depan, al hasil tidak ada yang aku kagetkan. Pandangan ku mengedar sampai ke sudut ruangan dengan ukuran sedang ini, masih seperti dulu. Hanya saja kamar ini terlihat lebih terawat. Mungkin juga bi warsih yang membersihkannya. Bunga mawar putih yang tadi aku bawa, sudah tertata rapih menyatu dengan vas bunga berwarna perak.

Tunggu, aku seperti menyium wangi wangi parfume bukan miliku disini, aneh. Ah biarkan saja lah yang penting aku bisa beristirahat dengan nyaman di atas kasur ini, menghilangkan pusing di kepalaku sehabis ujian tadi.

Rasanya tubuhku bersentuhan langsung dengan seprei bermotif garis garis kecil berwarna putih dengan warna yang monokrom. Hempasan tubuhku terasa bahwa ini adalah kasur yang ternyaman yang pernah aku tiduri.

Knock knock..

Suara ketukan pintu yang berasal dari luar kamar membuyarkan kenyamanan dan waktu istirahatku. Sebaiknya aku mengecheck siapa yang mengetuk pintu barusan. Dengan gerakan malas aku berjalan menuju pintu dan membuka pintu itu dengan pelan lalu mengusap wajah kantuku. Bunda berdiri tegap di depan pintu dengan pakaian yang biasa dia gunakan untuk berpergian untuk menghadiri undangan.

"Bun, mau kemana?" Aku melongo dan mendapati papa yang juga sudah rapih dengan setelan jas berwarna hitam yang melapisi kemeja putih di dalamnya. Cukup formal, tapi mau kemana mereka?

"Kamu ikut ya, temenin bunda sama papa ke nikahan teman papa." Aku berfikir sejenak akan tawaran bunda tadi. Apa boleh buat, sebaiknya aku ikut dari pada disini hanya dengan bi warsih saja.

"Yaudah, tunggu Vano siap siap dulu. Ya kali ke nikahan teman papa aku pake baju sekolah begini." Aku memberikan senyum terakhir kepada bunda dan di sambut ramah oleh papa. Lalu aku langsung menutup kembali pintu ketika bunda dan papa pergi turun untuk menunggu di lantai bawah.

Malam ini aku mengenakan setelan jas berwarna silver sebagai lapisan luar kemeja putih yang terlihat pas dengan tubuhku yang tegap saat dilihat di cermin lengkap dengan arloji hitam nan elegan yang melingkar di lengan kiriku. Malam ini sudah pukul tujuh, mungkin papa dan bunda juga sudah menunggu lama di ruang televisi.

"Bunda, pa?" Panggilku ketika sedang menuruni anak tangga di rumah ini. Lantas saja bunda dan papa langsung menoleh ke arahku dan terlihat aku terlalu bersemangat untuk menghadiri acara nikahan teman papa. "Papa, ayolah. Masa udah tua nontonnya masih naruto begitu."

"Lagi perang ninja konoha, sebentar lagi Vano. Itu lagi pada ngalahin jubi. Haduh, yasudahlah papa ngalah aja."

"Tau si papa, lagian bunda juga bingung kalau nonton naruto. Mana yang jahat mana yang baik sama aja." Ucapan bunda tadi mengundak gelak tawa antara aku dan papa, lalu papa langsung mematikan televisi dan merangkul aku juga bunda membawa ke dalam mobil sedan hitam yang sudah terparkir.

"Pa, Rendy pulangnya kapan?"

Seketika membuat keheningan menyelimuti di dalam mobil antara aku bunda dan papa. Semuanya diam saat aku bertanya seperti itu. Papa yang sekarang posisinya sedang menyupir, bunda selalu duduk di samping papa dan aku duduk di bangku belakang. "Vano di kacangin gini,"

"Kamu kangen sama Rendy?" Celetuk papa dengan pandangan yang masih terfokus pada jalan.

"Bukan begitu pa, masalahnya baju seragam Vano ada di kamar. Males aja kalau lagi di rumah papa eh dia udah pulang kuliah." Bantahku halus.

"Vano," bunda mendengus.

"Bunda mau lihat Vano di tinju sama Rendy lagi? Vano rasa dia psikopat!" Entah apa yang aku ucapkan tadi. Rasanya sifat introvertku sudah hangus terbakar rasa kesal dalam tubuhku. Dan selanjutnya hanya hening.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang