Prolog

8.5K 533 128
                                    

Di sebuah ruangan bergaya minimalis yang didominasi hitam dan putih, seorang pria bersetelan jas abu-abu sedang duduk di kursi, di balik meja kayu mengilat dengan tumpukan kertas tersebar di atasnya. Alis tebal pria itu bertaut. Di balik keningnya, tengah terjadi pergulatan sengit antara ide yang satu dengan yang lain. Gerahamnya terus mengunyah beberapa butir cokelat M & M's pelan, yang ia jumput dari mangkuk kaca di meja-khusus untuknya, harus yang berwarna merah saja.

Kemudian, selagi masih sibuk berpikir, dering telepon di meja membuyarkan fokusnya. Dia memutar bola mata sebelum mengangkat gagang. Tanpa membuka mulut, didengarnya suara si sekretaris, Nicki Minaj, berkata, "Mr. Rondhuis, ada telepon dari ibu Anda."

"Ada perlu apa memangnya?"

Pasti membicarakan soal perayaan Thanksgiving minggu depan. Ibunya memang selalu membahas soal itu. Sebab sudah bertahun-tahun pria itu tak datang ke rumah sang nenek untuk merayakan acara tersebut, dan sang ibu selalu menilai apa yang ia lakukan sangatlah tidak manusiawi. Well, mau bagaimana lagi? Pria yang kita hadapi saat ini bukanlah pria sembarangan.

"Tidak tahu, Bos. Dia tidak bilang apa pun, selain penting," jawab Nicki yang sebenarnya berada hanya berbatasan dinding saja dengan bosnya.

Pria itu menguap lebar. Dia lalu berkata, "Tolong sambungkan aku padanya."

"Ya, Bos." Sejenak tak terdengar suara. Pria bertubuh jangkung itu menjauhkan gagang telepon beberapa sentimeter dari telinga, bersiap-siap....

"Nils! Nils!" teriak sang ibu, memanggil. Mrs. Rondhuis memang tak pernah memulai pembicaraan di telepon dengan "halo" kepada anaknya, melainkan memanggil keras-keras seakan telinga putra semata wayangnya itu tersumbat batu karang.

"Ada apa?" tanya Nils malas. Dia kini berputar perlahan dengan kursi.

"Ibu akan datang ke rumahmu bersama Ayah hari Jumat nanti!" seru sang ibu. "Siapkan istrimu ya!"

"Oh." Nils terdiam. Lalu saat otaknya berhasil mencerna satu kata dengan lima huruf yang terdengar amat mematikan bagi pria lajang sepertinya itu, dia terjungkal dari kursi putar. Nils buru-buru bangkit, menempelkan telepon ke gagang telinga dan berkata, "Bu, aku sudah bilang-"

"Sampai jumpa, Sayang!"

Telepon terputus.

Nils berdiri di sebelah kursi, menatap gagang telepon di tangan. Otaknya sudah berdenyut-denyut memikirkan perusahaan, sekarang ibunya menambah dengan tuntutan yang selalu sulit dilaksanakan Nils. Ya, ibu mana pun pasti menuntut anaknya untuk segera memiliki pendamping hidup di usia sematang itu. Nils menelan ludah, matanya mengedar ke penjuru ruangan, selagi mencoba menemukan cara bagaimana supaya mendapatkan istri hanya dalam... empat hari.

Mustahil, pikirnya. Dengan uangnya, Nils memang bisa mendapatkan apa yang ia mau selama ini; dia bisa mengganti mobil-mobil di garasinya setiap enam bulan, membeli rumah semudah membeli hamburger, dan datang ke restoran McDonald's di seberang rumah dengan helikopter jika ia mau. Tetapi, urusan pernikahan sangat berbeda. Mencari istri tidak semudah membeli pakaian dalam. Dan yang paling utama, istri tidak dibeli. Nils menghela napas, pasrah. Matanya lalu tertumpu pada sebuah kertas bertulisan "KONTRAK". Itu kontrak kerja samanya dengan salah satu perusahaan.

Dan, secepat cahaya, otak Nils mendapatkan sebuah ide.

Walau dirasanya ide ini sungguh gila, mustahil, dan menjijikkan, dia tidak punya pilihan lain. Dia harus melakukannya. Dia meminta bantuan dua orang terpercayanya, yakni si sekretaris, Nicki, dan rekan kerja sekaligus sahabatnya, Jim.

Begitu dipanggil, Nicki datang terburu-buru sambil membawa tablet, siap mencatat yang diperlukan sang bos seperti biasa. Perempuan itu berlari-lari menghampiri meja, sepatunya yang barangkali tingginya bisa menyamai Patung Liberty itu berbunyi tak-tak-tak-tak. Di dadanya, muncul sebuah pemandangan yang membuat Nils selalu enek: memantul-mantul. Nicki duduk di kursi di hadapan bosnya, lalu meletakkan tablet di meja.

Dear Mr. RondhuisWhere stories live. Discover now