[3] Kontrak

4.5K 399 102
                                    

"Jadi, kau diterima menjadi sekretaris."

Aku hanya bisa melongo saat bibir Nicki yang tebal mencetuskan ucapan itu. Diterima? Dengan cara diculik? Tanpa wawancara atau tes apa pun? Perusahaan aneh macam apa sebenarnya ini?

"Tapi," ujar Nicki sambil menyusun kertas-kertas di meja di depan kami, "Mr. Rondhuis tidak butuh sekretaris, karena akulah sekretarisnya."

"Apa maksudmu?"

"Anggap saja kau diterima menjadi sekretaris, tetapi bukan untuk menjadi sekretaris," ujar Nicki, membuatku semakin bingung.

"Aku sama sekali tidak mengerti."

"Bukankah aku sudah bilang, aku butuh yang tidak pintar-pintar amat, bukan yang bodoh!" seru seorang laki-laki dari kabin sebelah.

Nicki menatapku serius. "Kau akan menjadi istri Mr. Rondhuis."

Aku terperangah. "Kau pasti bercanda."

"Tidak." Nicki menggeleng, raut mukanya serius. "Kau akan dikontrak menjadi istri Mr. Rondhuis dengan bayaran sepuluh ribu dolar per minggu, asalkan kau bisa bekerja sama dengan kami hingga waktu yang belum ditentukan. Bila kau setuju, kau harus menandatangani surat ini," ujarnya. Ia menunjukkan padaku sebuah surat perjanjian—yang diketik begitu resmi seperti sebuah perjanjian kerja antarperusahaan—yang isinya adalah kesediaanku menjadi istri kontrak dan segala macam tetek bengeknya.

"Bolehkah aku berbicara pada si Nils Rondhuis alias bosmu itu?" ujarku.

"Kau bisa katakan semuanya padaku. Aku akan menyampaikannya pada Mr. Rondhuis," sahut Nicki.

"Tolong bilang padanya, bahwa dia pria gila berengsek bertampang seperti anggota mafia dan aku tidak akan mau menjadi istrinya sampai kapan pun."

Nicki menghela napas. Terdengar lagi teriakan di kabin sebelah. "Kau pikir kau siapa? Dasar tidak tahu diri!"

Aku pun menyahut, "Oh ya? Bukankah kau yang tidak tahu diri? Mengapa kau harus membayar orang untuk menjadi istrimu? Apakah kau semenyedihkan itu? Oh, hampir saja aku lupa. Mana mungkin ada perempuan yang mau menikahi laki-laki jahat sepertimu!"

Nicki menggeleng-geleng, lalu memijat kepalanya sendiri.

Tiba-tiba saja Nils datang dari kabin sebelah. Air mukanya masam. Telunjuknya menuding wajahku. "Hei, dengar, Sialan. Jaga mulutmu. Kalau aku mau, aku bisa membunuhmu."

"Wow, wow. Jangan, Bos. Tidak ada acara bunuh-membunuh hari ini, sudah cukup," ujar Nicki. "Kita bicarakan ini baik-baik, oke?"

Nils memberengut menatapku. Dia meninggalkan kabin, lalu datanglah Jim, yang kali ini tidak mengenakan jas melainkan kemeja dan dasi saja. Dia duduk di sebelah Nicki, menghadapku.

"Biar aku saja yang menjelaskan soal ini," ujar Jim. Dia menatapku baik-baik, seakan semua kegilaan ini normal saja di dalam kepalanya. "Begini, Miss Buchenwald. Bila kau setuju bekerja sama dengan kami, yang harus kaulakukan sangatlah mudah: kau cuma perlu berpura-pura menjadi istri Nils di depan orangtuanya. Kedengaran simpel, kan?"

"Mengapa dia harus mengontrak orang lain untuk menjadi istrinya? Mengapa dia tidak mencari istri sungguhan saja?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Jim dan Nicki justru saling berbalas pandang, seperti saling menyuruh berbicara satu sama lain.

"Aku khawatir itu bersifat pribadi, Miss," ujar Jim kemudian. Dia berdehem, canggung.

"Aku harus tahu," ujarku. "Aku tidak bisa menyetujui kontrak itu bila aku sendiri tidak tahu mengapa si berengsek itu mau bekerja sama denganku."

Dear Mr. RondhuisDonde viven las historias. Descúbrelo ahora