[21] Telepon

3.9K 380 39
                                    

Barangkali karena terbiasa bangun pagi semenjak tinggal bersama Nils, tanpa dering jam beker pun, kelopak mataku otomatis terbuka sebelum matahari bangun mendahului. Rambut Nils menyentuh pipiku. Aku tak bisa melihat wajahnya. Terutama karena ia tengkurap tepat di atasku.

Tunggu dulu. Apa?

Seakan itu belum mengejutkan, aku baru menyadari bahwa kulit Nils bersentuhan langsung dengan kulitku. Ya. Tanpa dibatasi apa pun.

Oh, God.

Really?

This is insane!

Aku mengangkat kepalaku sedikit—karena memang hanya kepalakulah satu-satunya yang bisa kugerakkan—dan melihat sendiri pakaian yang berserakan di lantai, yang pemiliknya, tidak lain dan tidak bukan, adalah ....

Ya Tuhan.

Did we?

Is it true?

Geez! Semakin keras hatiku berteriak menanyakan apakah itu mungkin, semakin gencar pula otakku menayangkan apa-pun-yang-terjadi-semalam. Akal memang tidak pernah berkhianat terhadap perasaan.

Dan ke mana akalku semalam, demi Tuhan!

Dan sekarang, yang paling kukhawatirkan adalah reaksi Nils bila ia sadar apa yang terjadi dan bagaimana kami harus mengatasi semua ini. Pasti kecanggungan yang luar biasa tak akan henti-hentinya bergentayangan di sekitar kami. Ini gila! Nils membenciku sebesar aku membencinya dan sekarang lihat apa yang terjadi. Ini adalah kebalikan dari kebencian!

Rasanya aku ingin pergi ke Saturnus dan mengasingkan diri dari rasa malu ini.

Aku nyaris mati ketika Nils tiba-tiba bergerak pelan. Napasnya bertiup di bahuku. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan selain berpura-pura menjadi bantal. Aku memang ahli saat berpura-pura menjadi pot bunga, tapi pot bunga dan bantal adalah dua hal yang berbeda—dan orang tidak memeluk pot bunga meskipun keduanya sama-sama benda mati.

Aku berusaha menenangkan gemuruh jantungku.

Tarik napas, buang. Jangan pikirkan ini, Mileva.

Buku-buku jari Nils terasa di lenganku.

Tarik napas, buang. Jangan pikirkan ini, Mileva.

Setiap lekuk bibir Nils terasa hangat di bahuku.

Tarik napas, buang. Jangan pikirkan ini, Mileva.

Aku bisa menghidu butterscotch yang lembut dan manis dari punggungnya yang telanjang.

Oh, Mileva, ini tidak akan berhasil.

Kusentuh bahu Nils perlahan, mencoba menggeser tubuhnya dari atas tubuhku. Ia bergeming. Aku berpura-pura batuk agar ia terbangun, namun nihil. Mau apa orang ini?

Dering ponsel di nakas seketika membangunkan Nils, seperti baru saja membaca isi pikiranku. Dengan mata setengah terbuka, Nils bangkit dari tubuhku, berbalik, meraih ponselnya dan membaca nama yang terpampang di layar. Kesempatan itu kugunakan untuk duduk dan membalut tubuh dengan selimut. Aku baru saja akan menuruni kasur saat Nils tiba-tiba berkata, "Ini dari ibumu."

Nils menyodorkan ponsel padaku sambil berusaha duduk. Aku menyambutnya, duduk membelakanginya dan memencet ikon hijau di layar. Nils menyalakan pengeras suara. Saat aku bersuara, "Halo," Nils mendekapku dari belakang.

Aku berusaha untuk tetap fokus pada telepon.

"Halo," ulangku. Tidak ada jawaban. Waktu panggilan masih terus berkedip, semakin bertambah. Nils mendaratkan kecupan kecil di bahuku.

Dear Mr. RondhuisWhere stories live. Discover now