[20] Kopi

4.6K 363 84
                                    

Aku suka rambut Nils. Bahkan menurutku semua orang di dunia ini memang harus menyukai rambut pria itu. Mungkin dari gaya rambutnya memang tidak ada yang istimewa, tetapi bila kau menyusurkan jemarimu pada helai-helai rambutnya, kau pasti akan langsung menyukainya. Rambut Nils terasa halus ketika melewati sela-sela jemarimu, seperti bila kau menyentuh dandelion. Dan, selalu ada wangi yang menguar dari sana, bahkan wangi itu bisa menempel ke tanganmu tanpa membuatmu merasa seperti diliputi minyak atau semacamnya. Rambut Nils juga terlihat seperti berwarna cokelat gelap, tetapi bila tersiram cahaya matahari—seperti saat ini—rambut itu berubah menjadi terang. Selagi ia masih tidur, aku menempelkan pipiku pada rambutnya. Memang agak aneh, tapi sudah kukatakan padamu, aku suka rambut Nils.

Sepertinya ini kedua kalinya aku dan Nils berada dalam jarak yang amat dekat. Kucoba untuk memerhatikan wajah pria itu selagi ia belum kembali berubah menjadi makhluk super menyebalkan yang sepanjang waktu menyombongkan kekayaan. Alisnya tebal, bertengger di atas sepasang matanya dengan lengkungan yang rapi—untungnya kedua alis itu bukanlah berbentuk seperti pedang, karena bisakah kau membayangkan pria yang kerjanya jengkel hampir sepanjang waktu seperti Nils menatapmu dengan alis yang tajam? Itu akan mengerikan. Dia punya hidung yang tegas. Aku menyentuh pangkal hidungnya dengan telunjuk, lalu menarik tanganku cepat-cepat, khawatir ia terbangun. Tapi, tidak terbangun. Jadi aku melanjutkan observasi dadakanku.

Bibir Nils tebal, warnanya merah muda. Sudut-sudutnya menjelaskan betapa mereka lebih sering memberengut ketimbang membentuk senyum. Tulang pipi Nils juga tampak cukup menonjol. Dan, garis rahang Nils tajam, namun tentunya kata-kata yang sering keluar dari mulutnyalah yang lebih tajam.

Aku mengelus bahunya yang dibalut kaus abu-abu gelap perlahan, dengan harapan membangunkannya. Seluruh tubuhku terasa pegal karena harus duduk dan menahan bobot tubuhnya yang bersandar padaku sejak semalam. Dan ketika ia membuka mata pelan-pelan, ada kesedihan bergelayut di sana. Dia tampak seperti orang yang telah banyak menyaksikan kehilangan.

"Kalau kau masih mengantuk, tidur saja lebih lama lagi," ujarku. Dia mengerjap, lalu menjauhi bahuku sambil duduk tegak. Dia menyentuh tengkuk, lalu menggerakkan leher ke kanan dan ke kiri. Matanya lalu memandangku.

"Apa kau tahu cara membuat kopi?"

Aku balas memandangnya hati-hati. "Itu pertanyaan atau ucapan meremehkan?"

Nils menampilkan raut wajah bosan. "Pertanyaan."

"Tentu saja aku bisa," ujarku. "Memangnya siapa yang tidak bisa membuat kopi?"

"Nicki tidak bisa membuat kopi."

Baiklah, sebelum kami berdebat soal mengapa ada manusia yang tidak bisa membuat kopi di dunia ini, aku segera beranjak dan melangkah ke dapur, mulai melakukan sesuatu pada mesin kopi. Berhubung tidak ada lagi asisten rumah tangga di sini, aku mencoba melakukan semuanya benar-benar sendiri. Aku membuka beberapa bungkus permen M & M's dan memilah-milah yang warna merah saja untuk diletakkan di mangkuk, membuat roti isi sendiri, memotong apel dengan bentuk segitiga, dan menyusun biskuit serta yoghurt di meja. Selesai melakukannya, aku merasa aneh karena bersikap bak ibu rumah tangga.

Nils muncul tepat ketika aku menuangkan kopi ke cangkir. Dia duduk tanpa mengatakan apa pun, lalu menyesap kopi saat aku berkata, "Kau harus memasukkan gula terlebih dahu ... lu."

Sebelum ucapanku selesai, Nils terbatuk dan meletakkan cangkir kembali. Dia menutupi mulut seperti ingin menangis. Katanya, "Sial, pahit sekali."

"Kau harusnya mendengarkanku terlebih dahulu." Aku menyorongkan gula ke dekat cangkir. Dia bergeming, matanya menatap cangkir dan gula dengan tatapan terkhianati.

"Uh." Nils menyipitkan mata. Alisnya bertaut. "Kau harusnya memasukkan gula sebelum aku meminumnya."

"Kau bahkan tidak membiarkanku melakukannya," balasku.

Dear Mr. RondhuisWhere stories live. Discover now