[9] Tawa Nils

4.1K 377 45
                                    

"Aku baik-baik saja, Ibu," gerutu Nils saat ibunya hendak menyentuh wajahnya. Dia kelihatan amat terganggu, sementara sang ibu sendiri cemas setengah mati.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Ya ampun, lihat ini, Sayang," Ibu Mertua berkata pada Ayah Mertua, "lihat apa yang terjadi pada Nils kita."

"Siapa yang memukulmu hingga menjadi seperti ini, Nils?" tanya Ayah Mertua. Dia menyentuh rahang Nils, namun Nils cepat-cepat memalingkan wajah.

"Bisakah kalian tidak memperlakukanku seperti bocah? Aku baik-baik saja," gerutu Nils lagi. "Aku cuma korban salah keroyok. Para pengeroyok itu juga sudah meminta maaf dan mengganti rugi, jadi kalian tak perlu khawatir."

Aku menatapnya heran. Mengapa dia berbohong?

"Tapi bukankah kau membawa banyak pengawal, Nils? Memangnya apa saja yang mereka lakukan?" omel Ayah Mertua.

"Aku sedang berdua saja dengan Mils saat itu terjadi," ucap Nils, yang mana adalah kebohongan lagi. "Untungnya Mils tidak apa-apa."

Kedua orangtua Nils bertatapan saat kami semua duduk di serambi sore itu. Ibu Mertua mengusap lengan Nils lembut. "Lain kali cobalah untuk tidak bepergian tanpa pengawalmu, Nils. Masih untung kau hanya babak belur. Bagaimana bila kau terbunuh? Dan bagaimana nasib Mileva?"

Nils menunduk. "Aku tahu," sahutnya pelan. "Ini semua kecerobohanku."

"Omong-omong, ada sesuatu yang Ayah dan Ibu ingin bicarakan sore ini," ujar Ayah Mertua membuka obrolan baru. Dia bersedekap di kursi. "Kalian tahu bahwa kami sudah tidak muda lagi."

"Memang." Nils menyahut. Aku meliriknya dan mencubit lututnya. Dia mengernyit menatapku dan dengan gampangnya membalas cubitanku.

"Kami sudah lelah bepergian dari satu negara ke negara lain," lanjut Ayah Mertua. "Juga mengurus perusahaan. Rasanya, kami ingin menikmati masa tua kami."

Bola mata Nils tiba-tiba mendelik. "Maksud Ayah ...."

"Ya, Nils." Ibu Mertua tersenyum. "Kami ingin tinggal di sini bersama kalian."

Tubuh Nils tiba-tiba mematung. Mulutnya bahkan terbuka sedikit.

"Akan menyenangkan, bukan?" Ayah Mertua tertawa kecil. "Kita akan menjadi sebuah keluarga yang utuh. Tidak akan ada lagi tahun-tahun yang berlalu tanpa perjumpaan dengan orangtuamu ini, Nils."

Nils masih dengan pose yang sama.

"Belum utuh kalau belum ada kehadiran Rondhuis Junior di keluarga kita," ujar Ibu Mertua, secara tidak langsung menuntut meminta cucu. Pasutri itu terkekeh bahagia.

Sementara aku kini mematung pula seperti Nils.

Sepanjang sore hingga berakhirnya makan malam, aku dilanda kecemasan hebat akibat niat orangtua Nils yang ingin tinggal serumah dengan kami. Maksudku, bila mereka ingin tinggal selamanya di sini, itu berarti selamanya pula aku tidak akan kembali ke Amsterdam. Selamanya. Itu juga berarti aku akan menjadi Mrs. Rondhuis sungguhan.

Jelas sekali itu tidak boleh terjadi. Itu sama saja menandatangani kontrak untuk melegalkan Nils menyiksaku seumur hidup.

Malam itu, di tengah lantunan irama saksofon Kenny G., aku menemani Nils membaca di ruang baca. Nils menyalakan mesin penghangat sebab udara mulai terasa dingin menjelang awal Desember. Dia duduk berselonjor, kedua kakinya berada di atas meja.

"Nils," kataku agak hati-hati. "Bolehkah aku berbicara?"

Nils tidak melepaskan pandangan dari buku, namun menjawab, "Boleh."

"Soal yang tadi sore ... bagaimana? Bagaimana denganku? Tidak mungkin bila aku akan tinggal di sini terus-menerus, iya kan?"

Bola mata Nils berhenti pada satu titik. Dia menutup buku setelah tertegun beberapa detik. Matanya kini menatapku. "Aku ...."

Dear Mr. RondhuisWhere stories live. Discover now