[22] Kesalahan Fatal

3.8K 342 119
                                    

"Mengapa kau melakukan itu?" tanyaku saat Nils kembali ke dapur.

"Aku tidak mau ada air mata di tiramisuku," jawab pria itu.

Setelah itu kami berdua sama-sama ditelan kebungkaman hingga aku selesai membuatkan Nils tiramisu. Nils sempat meninggalkan dapur lagi, tetapi segera kembali dengan dua buah kotak yang langsung diletakkannya di meja. Dia menyendok tiramisu tanpa langsung memakannya, seperti memastikan makanan itu tidak mengecewakan. Matanya tampak enggan bertemu denganku.

"Bagaimana rasanya?" tanyaku.

"Good." Nils melahap tiramisu dengan kepala tertunduk.

"Apa yang ada di dalam kotak-kotak itu?" ujarku, mencoba agar ruangan ini tidak begitu sunyi.

"Untukmu," jawabnya muram. "Kenakan itu saat kau pulang."

"Memangnya kapan aku boleh pulang?"

"Pokoknya bersiaplah. Mungkin dadakan," kata Nils. "Kau bisa pulang saat keadaan memungkinkan."

Aku mengambil dua kotak itu dan membukanya. Kotak yang lebih besar berisi sepasang bots berwarna hitam, sementara kotak yang lebih kecil berisi ... korset.

"Mengapa kau memberiku korset?" tanyaku.

"Menurutmu kenapa orang mengenakan korset?"

"Supaya bentuk tubuh terlihat lebih indah?"

"Ya sudah."

Aku seringnya tak mengerti jalan pikiran Nils, namun aku tak mau memaksa untuk mengerti lebih jauh. "Terima kasih," kataku akhirnya. "Setidaknya ini bukan sport bra."

"Pokoknya kau harus mengenakannya," katanya menekankan. "Kalau kau tidak mau, aku yang akan memakaikannya padamu."

"Itu ancaman atau gombalan?" gurauku. Namun Nils tidak tertawa, jadi jelas itu bukan gombalan.

Setelah Nils menuntaskan tiramisu, sebuah pertanyaan tercetus di benakku, dan aku tidak tahan untuk menyembunyikannya lebih lama. "Kau masih mencintai Gabriela?"

Nils bangkit dari kursi, mengisi sebuah gelas dengan air dan meneguknya sedikit. Akhirnya sorot matanya terarah padaku. "Itu pertanyaan?"

Aku mengangguk.

"Iya," jawabnya.

"Itu bagus sekali." Aku tersenyum.

"Kau sudah bertanya beberapa kali," kata Nils, meletakkan gelas di bak cuci. "Sekarang giliranku."

"Apa yang ingin kautanyakan?"

"Apa kau pernah punya pasangan?"

"Tentu saja pernah. Aku tidak semenyedihkan yang kaupikirkan."

"Benarkah? Kapan?"

"Sudah lama sekali. Tapi tidak serius. Tidak seperti kau dan Gabriela."

"Jadi, cuma main-main?"

"Aku lebih senang menyebutnya 'kebodohan dari diriku yang belum tahu banyak hal'."

"Tapi kau kan memang tidak tahu banyak hal."

"Bagaimana kalau kau menanyakan hal yang lain saja?" ujarku, sebelum Nils mulai menjadi menjengkelkan lagi.

"Baiklah. Bagaimana dengan Louis?"

"Apanya yang bagaimana? Bukankah dulu aku sudah menjelaskan bahwa kami cuma teman?"

"Ya, memang. Aku tidak lupa soal itu." Nils tidak sekaku tadi lagi, malah agak terlihat lebih santai. Dia kembali ke kursi di seberangku. "Maksudku, apakah kau dan Louis seperti aku dan Gabriela? Kau tahu kan bahwa kau punya perasaan padanya. Apakah itu serius?"

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang