[19] Langkah Bolak-Balik

3.9K 356 72
                                    

Rochelle datang menyambut kami seperti ketika pertama kali aku datang ke rumah terpencil di pulau itu. Langkah Nils begitu cepat melintasi koridor. Aku masih amat syok. Rochelle memberiku minuman hangat, menyalakan pendiangan di ruang tengah, dan menyelimuti bahuku dengan selimut berwarna biru muda. Aku sangat berterima kasih padanya.

Di ujung lain ruangan, Nils sedang marah-marah di telepon. Aku tak bisa mendengar jelas apa yang ia ucapkan, tetapi dari sofa ini, bisa kulihat ia yang tengah mondar-mandir dengan telepon menempel ke telinga. Kepalanya tertunduk, alisnya yang tebal bertaut. Rahangnya mengeras.

Sesaat kemudian, ia kembali melintasi koridor, berjalan keluar. Para penjaga mengelilingi rumah itu dari berbagai sisi, di tangan mereka terdapat senapan mengilat yang tampak tak mengerti apa yang namanya belas kasihan pada sebuah jiwa. Rochelle terus berusaha menenangkan gemetar di tubuhku, memintaku untuk tidak memperhatikan apa yang Nils lakukan. Tetapi sulit untuk tidak menjauhkan pandangan dari pria itu. Kali ini kuakui kalau aku mengkhawatirkan pria itu. Sangat.

Apa yang sebenarnya sedang kami hadapi? Apakah Sindikat Snake yang waktu itu dibicarakan oleh Nils, Jim, dan Nicki? Apakah ini giliran Snake menyerang Yellow Claw? Lalu bagaimana dengan Sindikat Blood for Mercy yang waktu itu didirikan oleh Nils dan Jim? Tidakkah mereka seharusnya melakukan sesuatu?

Nils muncul lagi, masih berbicara di telepon. Ia mengatakan, "Kau sudah memastikan Rose di tempat yang aman? Jangan sampai mereka tahu di mana Rose berada, Jim, bawa dia sejauh mungkin. Pikirkan nasib putramu, kali ini dengarkanlah aku."

Dadaku nyeri. Di saat genting begini, Nils masih memikirkan keselamatan orang lain. Dia kini sibuk memencet beberapa tombol yang ada di dinding, lalu berlari ke lantai atas, masih menyebut-nyebut soal Jim dan istrinya.

Sialnya, dalam keadaan yang menegangkan seperti ini, pikiran untuk kembali ke Amsterdam kembali menghantuiku. Kesempatan itu mungkin jauh lebih tipis ketimbang benang sekarang. Aku memikirkan apa reaksi Cinnamon dan Ibu bila tahu aku telah dua kali lolos dari maut selama berada di negeri yang asing ini. Dan apa yang akan mereka rasakan bila tahu aku bisa saja kembali dengan terbungkus kantung jenazah.

Tapi Nils pernah berjanji. Aku tidak akan terbunuh walau ia terbunuh sekalipun. Itu mustahil. Aku mulai merasa bodoh karena menyadari bahwa Nils mengatakan itu hanya untuk menenangkanku dari trauma. Air mataku kembali menitik, membuatku merasa lebih bodoh lagi karena tidak bisa melakukan apa-apa selain menjadi cengeng dan memikirkan bagaimana bisa kembali ke Amsterdam. Aku benar-benar tidak berguna. Rochelle yang menjadi asisten rumah tangga saja sepertinya jauh lebih berharga dan berguna ketimbang aku.

*

Malam mulai merayap. Atmosfir masih diliputi ketegangan yang menyesakkan. Aku sedang duduk di sofa di kamar Nils, sementara Nils belum berbicara padaku. Dia terus menelepon dan mondar-mandir di luar kamar, sesekali melemparkan pandangan ke jendela, mengawasi berbagai kemungkinan. Kecemasan semakin bertambah ke dalam diriku, membuatku tak mampu menelan makanan apa pun.

Kuputuskan untuk beranjak dari kamar. Di puncak tangga, aku terhenti menyaksikan Nils berbicara dengan Rochelle dan beberapa pembantu lainnya di dasar tangga.

"Pergi," kata Nils. "Jangan kembali kemari."

"Tapi, Sir—"

"Kalian bisa terbunuh di sini."

Rochelle tak lagi bersuara. Tubuhku membatu seketika itu pula.

"Kalian harus pulang sekarang juga. Bila kalian berada di sini lebih lama lagi, aku khawatir kalian tidak akan punya kesempatan untuk hidup," lanjut Nils. Wajahnya muram. "Pergilah lewat pintu belakang, lalu tinggalkan pulau ini dengan kapal yang ada di pinggir pantai. Apa pun yang terjadi, jangan kembali."

Dear Mr. RondhuisWhere stories live. Discover now