[4] Dan Penderitaan Dimulai

4.7K 391 52
                                    

"Hai, namaku Mileva. Senang bertemu denganmu."

"Jadi kaukah istri Nils? Sejak kapan kalian menikah?"

"Kami menikah empat tahun yang lalu."

"Empat tahun yang lalu? Mengapa aku tak pernah mendengar soal kabar pernikahan kalian?"

"Pernikahan kami sangat tertutup. Begitulah, Nils tidak suka keramaian."

"Di mana kalian menikah?"

"Di Hungaria. Kebetulan saat itu aku menemani Nils berbisnis di sana. Pernikahan itu sangat tidak muluk-muluk, hanya tentang 'maukah kau menjadi istriku?' dan 'ya, aku mau', semacam itulah, lalu dilaksanakanlah acara pemberkatan. Kami berbulan madu di Praha selama beberapa minggu kemudian."

"Tapi tampaknya Nils tidak pernah terlihat bersamamu selama ini."

"Memang. Bukankah Nils sangat penyayang? Beberapa tahun belakangan kami memang berusaha untuk tidak terlihat bersama di depan umum karena pekerjaan Nils sangat berisiko. Dia tidak mau aku disasar orang-orang jahat."

"Di mana keluargamu?"

"Ibu dan ayahku meninggal dalam kecelakaan. Mereka sama-sama anak tunggal, begitu pula aku. Jadi aku sudah tidak punya keluarga lagi."

"Mengapa hanya kau yang selamat?"

"Karena aku tidak ikut bersama mereka saat kecelakaan itu terjadi."

"Di mana kau bekerja?"

"Saat ini Nils ingin aku mengurus rumah tangga saja. Tapi kadang aku mencoba melakukan kegiatan untuk badan amal."

"Kalian kan sudah menikah selama empat tahun. Mengapa belum punya anak?"

"Nils belum mau. Well, lagi pula aku sendiri juga masih menikmati masa-masa berdua saja dengannya."

Nicki menyodorkan segelas air padaku. Kami pun sama-sama minum. Mengulang percakapan itu untuk yang ketiga puluh dua kalinya telah menghabiskan beberapa liter air untuk membasahi tenggorokan yang kering. Rasanya aku sudah menghafal informasi--alias kebohongan--itu di luar kepala. Semua hal itu harus kukatakan bila ada orang yang bertanya mengenai aku.

Nicki berdehem sambil meletakkan gelas di meja. "Bagus. Kau kelihatan lebih natural. Tapi ada nada yang monoton pada beberapa bagian ucapanmu, jadi usahakan untuk menghilangkan nada itu sebisa mungkin."

Aku mengangguk, bak penyanyi yang sedang mendengarkan nasihat pelatih vokalnya. Untungnya, Nicki sendiri sudah lelah membantuku berlatih menghafalkan kebohongan, jadi dia memintaku beristirahat.

Beberapa jam kemudian, sebuah tepukan pelan mendarat di bahuku. Aku membuka mata dan melihat Nicki mengenakan mantel. Dia tersenyum sambil mengikat rambut.

"Kita sudah sampai," katanya. "Sekarang kita harus turun dari pesawat dan naik helikopter menuju rumah Mr. Rondhuis."

Naik helikopter?

Aku bangkit dari kursi sambil terbengong-bengong. Nicki tidak menjelaskan lebih lanjut, hanya berbalik dan memberi isyarat untuk mengekornya. Aku tak tahu sekarang pukul berapa, yang jelas langit masih gelap bertabur bintang-gemintang saat aku mencoba melangkahkan kaki menuruni tangga dengan terkantuk-kantuk. Aku bahkan tak tahu saat ini aku ada di mana.

Sebuah helikopter tengah menanti beberapa ratus meter dari kami. Baling-balingnya berputar kencang, menerbangkan rambut dan rerumputan di sekitar kami. Beberapa lampu di kejauhan bersinar terang, membanjiri tanah dengan cahaya jingga.

Lalu, datang dari sebuah mobil berwarna hitam, seorang pria setengah baya menghampiriku. Ia ditemani orang-orang yang lebih muda, yang tampaknya adalah asistennya. Nicki tiba-tiba berhenti, begitu pula aku.

Dear Mr. RondhuisWhere stories live. Discover now